[caption id="attachment_345115" align="aligncenter" width="576" caption="Ketika turis asing sudah bisa menikmati kopi racikan Win Ruhdi Bathin, awal kemajuan cafe yang dikelolanya."][/caption]
Bisnis adalah sepekulasi. Siapa yang berani spekulasi berarti siap merugi. Dibalik itu, mereka yang berani spekulasi biasanya bakal menjadi orang-orang yang sukses. Bisnis bukan mencoba meraih keuntungan besar sekaligus, tetapi mencoba mendapat laba kecil dengan kelipatan penjualan besar. Ini pasti pekerjaan membosankan, tetapi itulah bisnis.
Faktanya saat ini, kita lebih suka menjadi tenaga kerja atau “buruh.” Alasannya karena memperoleh penghasilan tetap atau jaminan masa depan. Padahal, alam Tanoh Gayo menyediakan potensi uang yang cukup besar. Bukan hanya tanahnya yang subur, limbah yang ada di Tanoh Gayo bisa jadi uang. Wajar jika AR Moese dalam sebuah lagunya menyatakan: “engonko so tanoh Gayo simureta dele” [lihatlah Tanoh Gayo dengan hartanya yang melimpah].
Semua sadar bahwa negeri ini kaya potensi, tetapi kenapa tidak didayagunakan sebagai sebuah peluang bisnis? Entahlah, barangkali karena tanahnya terlalu subur membuat kita terlena. Tidak ada tantangan. Misalnya buah labu siam dilempar ke belakang rumah, lama-lama tumbuh jadi sayuran, tidak perlu pupuk, tidak perlu perawatan. Peluang kelaparan cukup kecil. Tidak punya beras, mandah ke rumah kerabat. Makan pasti disediakan meski dengan menu pucuk labu siam rebus. Inilah realitas.
Hasil penelitian Hadimulyo (1981) menegaskan bahwa: “Hubungan sosial yang mengutamakan pong (teman) bisa dilihat sebagai penghambat minat berdagang dikalangan orang Gayo, dimana nilai-nilai yang berhubungan dengan pengumpulan kekayaan kurang mendapat perhatian. “
Hadimulyo menambahkan: “Memang, dalam masalah uang, orang Gayo sulit untuk berlaku zakelijk.” Dia memberi contoh, seorang pemuda Gayo pemilik toko bercerita bagaimana ia “kikuk” menghadapi pembeli yang masih ada hubungan keluarga atau kenalan. Untuk menyebut harga yang sebenarnya, ia tidak enak perasaan. Prinsip mereka: “lebih baik kehilangan uang daripada kehilangan teman.”
Kemudian, tulis Hadimulyo, baru setelah ia mengikuti penataran pedagang pribumi yang diselenggarakan Departemen Perdagangan bekerjasama dengan Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi Unsyiah, ia berani menghadapi pembeli dengan memberi harga yang sebenarnya, walaupun pembeli itu keluarga dekat.
“Belenggu” rasa “kikuk” seperti digambarkan oleh Hadimulyo memang masih terlihat sampai detik ini, meskipun beberapa anak muda sudah mulai keluar dari belenggu itu. Malah, mereka sudah berani meluaskan usaha ke luar daerah, misalnya seperti Hip Burger, Bergendaal Koffie atau Sada Coffee dll. Di Takengon sendiri, banyak ditemukan anak muda Gayo yang mulai konsisten menggeluti dunia bisnis. Ini sebuah langkah maju yang perlu diapresiasi.
Disadari atau tidak, [meminjam istilah Yusra Habib Abdul Gani, tokoh Gayo yang bermukim di Denmark], di Gayo ada sebuah kebiasaan yang disebut “unung-unung” alias ikut-ikutan. Kebiasaan ini adalah kelemahan, tetapi ini juga menjadi kekuatan dalam membangkitkan etos kerja para pegiat bisnis di Tanoh Gayo. Kebiasaan suka meniru ini, sebenarnya sangat positif dalam dunia bisnis.
Misalnya, pada tahun 1990-an hampir tidak ada yang namanya doorsmer di Takengon. Untuk mencuci mobil, kalau tidak dicuci sendiri, orang akan membawa mobilnya ke pinggir sungai Pesangan di Desa Tan Saril atau Uning. Entah tahun berapa, berdirilah sebuah usaha doorsmer di Paya Tumpi. Begitu larisnya, mobil sampai antri menunggu jadwal cuci. Lalu, dalam waktu singkat, muncul sejumlah usaha doorsmer hampir disetiap sudut kota Takengon, bahkan sampai ke ibukota kecamatan.
Contoh lain, sampai tahun 2009, satu-satunya tempat yang menyediakan produk kopi arabika yang diseduh menggunakan coffee maker hanya Bergendaal Cafe di Simpang Teritit. Langkah yang dilakukan Bergendaal Cafe perlu diapresiasi karena untuk meningkatkan nilai tambah sektor perkebunan, yang dijual harus bahan jadi atau bahan setengah jadi seperti roasted coffee.