[caption id="attachment_369698" align="aligncenter" width="388" caption="Kabi Hatari, menampung cabai hijau dari para petani Aceh Tengah."][/caption]
Cabai (Capsicum annuum L.) merupakan salah satu jenis sayuran yang disukai warga, terutama yang bermukim di daerah tropis. Selain sebagai sayuran, cabai menjadi salah satu rempah dan bahan penyedap. Diyakini bahwa cabai dapat merangsang selera makan. Tidak mengherankan apabila masakan oriental tidak pernah lepas dari rasa pedas.
Permintaan pasar terhadap komoditi cabai terkadang cukup tinggi sehingga mengatrol harganya sampai diatas Rp 50 ribu per kilogram. Ketika harga cabai melonjak, warga mulai riuh dan mengeluh. Serta merta media mainstream menyambutnya dan mempublikasikan keriuhan itu. Ujung-ujungnya cabai impor membanjiri pasar Indonesia dengan alasan menekan harga cabai.
Sebaliknya, saat harga cabai jatuh sampai titik terendah seperti hari ini, semua diam sambil menikmati harga murah. Padahal, biaya produksi yang dikeluarkan petani cabai jelas tidak impas. Media mainstream pun seperti diam seribu bahasa ditengah-tengah petani yang sedang merugi dan “kepedasan.”
Rapopo media mainstream diam, yang penting media warga akan tetap bersuara. Dan, media warga berusaha mengungkap rahasia penyebab anjloknya harga cabai. Setidak-tidaknya informasi sederhana ini akan menjadi berharga bagi para penyuluh pertanian dan petani dalam menyiasati prospek harga cabai hijau.
Hari ini, Kamis (19/2/2015), Kabi Hatari yang biasanya menampung hasil bumi di Takengon Aceh Tengah hanya berani membeli cabai hijau dari petani seharga Rp 4500 per kilogram. Padahal, petani daerah itu sedang memasuki masa panen cabai. Akibat anjloknya harga cabai hijau, banyak yang menunda memanen cabainya. Mereka membiarkan cabai itu sampai memerah sambil menunggu harga membaik.
[caption id="attachment_369699" align="aligncenter" width="300" caption="Cabai hijau yang siap dipasarkan"]
Menurut Kabi Hatari yang membuka kios di Jalan Sengeda Takengon, hampir semua cabai hijau asal Aceh Tengah dipasarkan ke Medan, Sumatera Utara. Sayangnya, sejak Januari lalu, permintaan cabai hijau asal Aceh Tengah menurun drastis. Kalaupun ada permintaan, harganya sangat murah, dibawah biaya produksi. Apa penyebabnya?
Manulang (48), eks pedagang sayur yang telah malang melintang di seluruh pelosok Sumatera Utara membuka sedikit rahasia bisnis cabai hijau. Lelaki yang kini telah alih profesi menjadi coffee roaster itu menyatakan, pengguna cabai hijau terbanyak di Sumatera Utara adalah etnis Jawa. Etnis itu bermukim di sepanjang pesisir Timur Sumatera Utara, mulai dari perbatasan Aceh sampai ke perbatasan Provinsi Riau.
Semasa Manulang menjadi panjaja sayur dari pintu ke pintu, dia melihat sebuah tradisi yang masih berlaku sampai detik ini. Tradisi itu berupa kebiasaan warga yang tidak menyelenggarakan pesta perkawinan dibulan Syuro (Maulid). Padahal, konsumsi terbesar cabe hijau disana adalah untuk kebutuhan pesta, jelas sekali ini penyebab turunnya permintaan cabai hijau.
Bagaimana pemanfaatan cabe hijau itu? Cabe hijau diiris memanjang, lalu dimasak dengan tauco ditambah irisan kecil tempe goreng. Inilah salah satu kuliner yang wajib tersedia dalam jumlah banyak. Selain disediakan untuk kebutuhan tamu pada acara pesta, gulai cabe hijau tauco itu juga dirantangkan, lalu diantar ke rumah-rumah tetangga.
Para tetangga yang menerima kiriman gulai cabe hijau tauco itu, mengembalikan rantang kosong itu dengan mengisi selembar uang sebagai sumbangan kepada penyelenggara pesta. Mengantar rantang berisi cabai hijau tauco itu sudah menjadi kearifan lokal dikalangan warga disana.
Begitulah tradisinya, kata Manulang. Jangan heran apabila seorang warga disana membeli cabai hijau mencapai 20 kg. Cabai hijau itu digunakan sebagai sayuran utama dalam sebuah pesta. Sekarang, harga cabai hijau anjlok di pasaran Kota Medan, penyebabnya karena tidak ada pesta perkawinan. Lihat saja, selesai bulan Syuro, pesta akan berlangsung hampir di setiap desa. Harga cabai hijau kembali melonjak naik.
Tradisi warga yang dituturkan oleh Manulang merupakan sebuah fenomena sosial yang terkait dengan permintaan komoditi cabai hijau. Sebenarnya, fenomena itu hanya sebuah informasi sederhana tetapi sangat strategis bagi petani cabai. Hal inilah yang perlu dikaji dan dipelajari oleh para penyuluh pertanian di Aceh Tengah.
Hasil kajian itu, kemudian diteruskan kepada para petani. Misalnya, kapan waktu yang tepat bagi petani untuk menanam cabai. Penyuluh dengan ilmu yang dimilikinya tentu dapat menghitung jadwal panen agar bersamaan dengan musim pesta di pesisir Timur Sumatera Utara.
Harapannya, informasi sederhana itu akan menjadi momentum penting bagi petani cabai untuk meraih laba yang memadai. Teringat sebuah pribahasa Aceh yang sering diungkapkan oleh mantan Gubernur Aceh Prof. Ibrahim Hasan: Jaroe bak langai, mata u pasai (tangan tetap pada alat bajak tanah, tetapi mata harus mencermati perkembangan harga komoditi di pasar).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H