Mitigasi risiko dalam penyelenggaraan haji khusus dan umrah menjadi perhatian serius pemerintah, terutama Kementerian Agama (Kemenag) dan Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi). Keputusan yang diambil dalam pertemuan bersama PPIU/PIHK pada 9 Desember 2024 menunjukkan kesungguhan untuk memberantas penyimpangan sekaligus memberikan perlindungan maksimal kepada jemaah. Namun, langkah kebijakan ini memerlukan kerjasama yang lebih kuat antar berbagai pihak.
Salah satu permasalahan utama adalah lemahnya pengawasan terhadap penggunaan media sosial oleh penyelenggara perjalanan ibadah (travel). Kemenag dan Kemkomdigi mengambil langkah serius dengan membentuk tim khusus untuk memantau dan memblokir akun media sosial travel yang melanggar aturan. Namun, efektivitas langkah ini dipertanyakan mengingat luasnya ruang digital yang ada. Selain itu, masih banyak PPIU/PIHK yang diduga melakukan pelanggaran serius, seperti menjual visa non-haji dan memanfaatkan sistem Siskopatuh secara ilegal. Â
Pada Januari 2025, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Ditjen PHU akan mulai bekerja, setara dengan fungsi kepolisian dalam penyidikan tindak pidana terkait. Berdasarkan data awal Kemenag, beberapa PPIU telah teridentifikasi menjual paket haji non-reguler dan visa tidak sah. Tindakan tegas terhadap pelaku diperlukan untuk mencegah kerugian jamaah yang mencapai miliaran rupiah setiap tahunnya. Data lain dari BNPT juga mengungkap adanya indikasi sebagian jamaah tidak kembali ke Indonesia dan diduga terlibat dalam jaringan terorisme internasional, yang menambah kompleksitas masalah. Â
Menurut teori corporate governance, setiap penyelenggara usaha, termasuk PPIU/PIHK, harus mengutamakan transparansi dan akuntabilitas dalam operasionalnya. Hal ini selaras dengan teori etika bisnis yang menekankan pentingnya integritas dalam melayani konsumen. Penyelenggara harus memastikan bahwa seluruh jamaah memiliki akses informasi yang jelas, asuransi yang sah, dan rekening penampungan sesuai peraturan. Pelanggaran dalam menjalankan aturan-aturan tersebut akan menurunkan kepercayaan publik terhadap industri umrah dan haji secara keseluruhan. Â
Langkah mitigasi yang diambil Kemenag dan Kemkomdigi harus diikuti dengan evaluasi berkala untuk memastikan kebijakan berjalan efektif. Pemberian pelatihan kepada PPNS dan sosialisasi kepada PPIU/PIHK terkait aturan baru menjadi langkah awal yang strategis. Selain itu, teknologi seperti blockchain dapat diterapkan untuk meningkatkan transparansi dalam pengelolaan dana jamaah. Â
Pemerintah juga perlu memperkuat kolaborasi dengan otoritas perbankan dan asuransi untuk memastikan seluruh jamaah terlindungi, baik dari segi keuangan maupun risiko perjalanan. Rekening penampungan yang diwajibkan bagi penyelenggara harus diawasi secara ketat untuk mencegah adanya praktik fiktif atau penyalahgunaan dana jamaah. Selain itu, penyediaan asuransi perjalanan yang sah dan terintegrasi dapat memberikan jaminan perlindungan menyeluruh, mulai dari kesehatan hingga kejadian tak terduga selama ibadah. Dengan sistem pengawasan yang lebih transparan dan mekanisme pelaporan yang mudah diakses, jamaah akan merasa lebih aman dan nyaman dalam menjalankan ibadah. Hal ini juga akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggaraan haji khusus dan umrah di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H