Mohon tunggu...
Sabilillah
Sabilillah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya adalah seorang mahasiswa di salah satu universitas yang berada di Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kejahatan Seksual Masih Menjadi Ancaman Mengerikan Perempuan dan Anak-anak Indonesia

26 Desember 2021   22:38 Diperbarui: 26 Desember 2021   23:14 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pada setiap tahunnya kasus kejahatan seksual terus mengalami kenaikan, korbannya pun kini sudah bukan hanya orang-orang berusia dewasa melainkan sudah terjadi juga kepada perempuan dan anak-anak bahkan seusia balita juga kerap kali menjadi sasaran para pelaku kejahatan seksual. Fenomena kejahatan seksual yang terjadi kepada perempuan dan anak-anak pun semakin sering terjadi dan hal ini bukan hanya menjadi hal yang memilukan di dalam negeri tetapi banyak terjadi juga di luar negeri. Dari sekian begitu banyaknya kasus kejahatan seksual yang terjadi kepada perempuan dan anak-anak fakta tragisnya para pelaku ini kebanyakan berasal dari ruang lingkup keluarga ataupun lingkungan sekitar dimana perempuan dan anak-anak itu berada, contohnya seperti di dalam rumahnya sendiri, di lingkungan sosial, dan juga di lingkungan sekolah. Fakta ini tentunya dapat kita buktikan dengan memperhatikan betapa begitu maraknya kasus kejahatan seksual yang terjadi di lingkup keluarga yang kerap kali bermunculan di media sosial.

Di tahun 2019 saja, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) berhasil memperoleh data dengan mencatatkan 431.471 kasus kejahatan yang menimpa golongan perempuan. Bersumber dari data yang telah didapatkan tersebut, jenis kejahatan terhadap perempuan didominasi oleh kejahatan pada ruang lingkup yang personal. Kejahatan seksual mengisi dengan angka 25% dari keseluruhan kasus kejahatan yang terjadi terhadap perempuan. Payung perlindungan hukum yang ada pada saat ini, belum mampu memerangi kompleksitas kasus-kasus kejahatan seksual yang terjadi. Padahal kurang tegasnya perlindungan hukum terhadap kejahatan seksual ini memberikan dampak yang cukup mengerikan seperti menyebabkan hadirnya impunitas dan rasa frustrasi para korban kejahatan seksual dalam memperjuangkan haknya atas keadilan dan pemulihan. Berdasarkan informasi lain yang bersumber dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), KPAI berhasil menemukan ratusan kasus kejahatan seksual terhadap anak yang diduga dilakukan oleh orang terdekat anak. KPAI mengungkapkan sebuah data yang menunjukkan bahwa terdapat 218 kasus kejahatan seksual anak pada tahun 2015, 120 kasus kejahatan seksual pada anak di tahun 2016, dan pada tahun 2017, terdapat 116 kasus. Dari data tersebut KPAI memperlihatkan bahwa pelaku kejahatan seksual pada anak merupakan orang-orang yang berasal dari ruang lingkup terdekat mereka seperti orang tua korban atau ayah tiri dan kandung, keluarga terdekat, dan teman korban. Dalam kasus kejahatan seksual yang kini marak terjadi, perempuan dan anak-anak menjadi kelompok yang sangat rentan atas kejahatan seksual karena perempuan dan anak-anak dianggap oleh para pelaku sebagai sosok yang lemah dan tidak berdaya.

Maraknya kasus kejahatan seksual yang terjadi kepada perempuan dan anak-anak yang terdapat di ruang lingkup personal dapat menunjukkan bahwa betapa lingkungan yang aman dan nyaman bagi perempuan dan anak-anak semakin sempit dan sulit untuk dirasakan oleh mereka. Lingkungan aman dan nyaman yang seharusnya dapat mereka rasakan juga, berganti menjadi lingkungan sosial yang justru memberikan ancaman mengerikan dan potret ketakutan. Karena pada saat ini perempuan dan anak-anak hanya menjadi subjek pelecehan seksual di lingkungan sosial mereka. Dan yang begitu disayangkannya setiap kasus kejahatan seksual yang terjadi kepada perempuan dan anak-anak jarang sekali yang mendapatkan perhatian lebih dari seluruh elemen masyarakat. Data yang dimiliki oleh KPAI hanyalah data yang didapatkan dari beberapa korban yang cukup mempunyai keberanian untuk melapor, karena sebenarnya masih banyak korban kekerasan seksual terutama perempuan dan anak-anak  yang belum memiliki keberanian untuk melaporkannya dan tidak tau harus melapor kepada siapa yang dapat mereka percayai untuk menangani kasusnya. Kasus-kasus kejahatan seksual seperti ini lebih sering menjadi sebuah rahasia yang disimpan oleh korban dan pelaku. Korban kejahatan seksual masih banyak juga yang belum berani untuk menceritakan peristiwa yang mereka alami kepada keluarganya, karena mereka cenderung merasa malu dan menganggap hal tersebut adalah sebuah aib memalukan yang harus disembunyikan rapat-rapat. Terlebih lagi di beberapa kasus korban kejahatan seksual mendapatkan kejahatan tersebut dari keluarga mereka sendiri.

Hukum pidana yang mengatur persoalan kejahatan seksual di Indonesia sejauh ini regulasinya masih tersebar di dalam beberapa undang-undang yang ada. Kejahatan seksual yang meliputi pemerkosaan, pelecehan seksual, sentuhan yang tidak diinginkan, pemaksaan hubungan seksual, perdagangan seksual, pencabulan, perkawinan anak, pemaksaan kontrasepsi, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi, hingga pemaksaan kehamilan secara terpisah diatur dalam berbagai undang-undang. Ketika KUHP tidak memberikan pengaturan tentang kejahatan seksual, berlakulah sebuah asas lex specialis derogat legi generali. Asas ini adalah asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum. Namun permasalahannya, belum ada regulasi yang secara khusus mengatur tentang kejahatan seksual. Sehingga dalam kasus yang tidak dapat diselesaikan dengan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), Undang-undang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU PTPPO) misalnya, aparat penegak hukum akan kembali pada hukum pidana umum yaitu KUHP.

Namun kini setelah hadirnya Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) hal ini menjadi sebuah upaya peningkatan payung hukum yang berguna untuk mengatasi berbagai persoalan kejahatan seksual terhadap perempuan dan anak. Pandangan bahwa kejahatan seksual sebagai kejahatan terhadap kesusilaan semata, tentu saja hal ini memicu sebuah persoalan yang bukan hanya mengurangi derajat tindak pidana yang dilakukan namun juga menciptakan pandangan bahwa kekerasan seksual adalah persoalan moralitas semata. Bahkan pandangan ini ternyata didukung oleh negara melalui muatan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam KUHP, kejahatan seksual seperti pemerkosaan dianggap sebagai pelanggaran terhadap norma kesusilaan. Hal ini pun ternyata memiliki dampak pada maraknya kasus kejahatan seksual yang terjadi dan ternyata tidak mampu ditangani secara jalur hukum, dan hingga akhirnya berujung melalui upaya penyelesaian secara perdamaian di luar proses peradilan, padahal hal yang dirasakan oleh para korban kejahatan seksual ini memperlihatkan bahwa kejahatan seksual dapat menghancurkan seluruh integritas hidup korban yang menyebabkan korban merasa tidak mampu melanjutkan hidupnya lagi. Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual bertujuan dengan sesuai namanya yang tentunya menjadi sebuah upaya untuk menyelesaikan berbagai persoalan kasus kejahatan seksual yang ada dengan mengidentifikasi beberapa bentuk dan jenisnya. Pasal yang dihadirkan di dalam RUU PKS ini adalah aturan yang belum diatur pada undang-undang lain diantaranya mengenai penyelenggaraan pencegahan kekerasan seksual yang termuat dalam Pasal 5 RUU Kekerasan Seksual sebagai berikut :

Pasal 5

  1. Lembaga Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah wajib menyelenggarakan pencegahan kekerasan seksual.

  2. Pencegahan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi namun tidak terbatas pada bidang: a. pendidikan; b. infrastruktur, pelayanan publik dan tata ruang; c. pemerintahan dan tata kelola kelembagaan; d. ekonomi; dan e. sosial dan budaya

  3. Pencegahan kekerasan seksual sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dan (2) dilakukan dengan memerhatikan situasi konflik, bencana alam, letak geografis wilayah, dan situasi khusus lainnya.

  4. Pencegahan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf e dikoordinasikan oleh kementerian yang membidangi urusan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.

  5. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia menyiapkan materi dan pedoman dalam pelaksanaan pencegahan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Jumlah kejahatan seksual terhadap perempuan dan anak-anak pada saat ini mengalami sebuah peningkatan, selain itu dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terjadi kini jenis kejahatan seksual juga bentuknya sudah semakin beragam. Penegakan hukum melalui regulasi-regulasi yang ada pada saat ini ternyata belum mampu mengakomodir dan menangani fenomena kejahatan seksual yang marak terjadi. Hal tersebut ternyata disebabkan juga karena rumusan hukum yang ada pada saat ini belum mampu mengakomodir permasalahan yang khususnya jenis kejahatan terhadap perempuan dan anak-anak dan instrumen lain yang meliputi pencegahan, pengembangan dan pelaksanaan mekanisme penanganan, perlindungan dan pemulihan yang melibatkan berbagai stakeholder di masyarakat pun belum ada. Diciptakannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tentunya akan menghadirkan sebuah jaminan bahwa akan terlaksananya kewajiban negara, peran keluarga, partisipasi masyarakat, dan tanggung jawab korporasi dalam menghadirkan sebuah lingkungan sosial yang bebas akan kejahatan seksual. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini pun juga diharapkan nantinya akan menjadi sebuah aturan yang mampu menjadi sebuah solusi yang dapat mengatasi persoalan kasus-kasus kejahatan seksual yang marak menimpa kepada perempuan dan anak-anak di Indonesia, dan nantinya kasus-kasus yang ada mampu tertangani dengan baik, karena di dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual melalui mekanisme penegakan hukumnya akan memberikan keadilan bagi korban kejahatan seksual, melalui pidana dan tindakan yang tegas bagi para pelaku kejahatan seksual.

Semakin banyaknya kasus-kasus kejahatan yang menimpa kepada perempuan dan anak terutama kasus kekerasan seksual (sexual violence againts) dan hal ini menjadi fenomena tersendiri pada masyarakat modern saat ini. Perempuan dan anak-anak sangat memiliki kerentanan yang cukup tinggi untuk menjadi korban kejahatan seksual karena tingkat ketergantungan mereka yang tinggi. Sementara kemampuan mereka untuk melindungi dirinya sendiri masih sangat terbatas. Ada berbagai macam faktor penyebab yang mengakibatkan terjadinya kasus kejahatan seksual terhadap perempuan dan anak-anak yang nantinya dampaknya dapat dirasakan oleh mereka dengan perspektif sebagai korban baik secara fisik, psikologis, dan sosial. Melihat dampak yang diakibatkan oleh kejahatan seksual yang dialami oleh perempuan dan anak-anak yang menjadi korban, maka dalam penanganannya sangat diperlukan penanganan yang tepat kepada korban seperti restitusi, kompensasi, rehabilitasi dan juga jaminan kepuasan dan ketidak berulangan atas pelanggaran yang menimpanya.


Sumber Referensi

  • Purwanti, Ani dan Marzellina Hardiyanti. 2018. Strategi Penyelesaian Tindak Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan dan Anak Melalui RUU Kekerasan Seksual. Masalah-masalah Hukum, 47(2), 138-148.

  • Tantri, Luh Made Khristianti Weda. 2021. Perlindungan Hak Asasi Manusia Bagi Korban Kekerasan Seksual di Indonesia. Media Iuris, 4(2), 145-171.

  • Zahirah, Utami, Nunung Nurwati, dan Hetty Krisnani. 2019. Dampak dan Penanganan Kekerasan Seksual Anak di Keluarga. Prosiding Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, 6(1), 10-20

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun