Pembantaian ini dilatar belakangi Belanda yang kalah bersaing dalam perdagangan dengan Inggris. Saat itu, EIC, perusahaan perdagangan Inggris yang berbasis di India mengambil alih perdagangan di Asia. VOC kemudian memerintahkan untuk mengambil pajak dan pungli dari para imigran Cina di Batavia.
Populasi imigran Cina yang semakin meningkat di Batavia juga menjadi penyebab pembantaian ini. Adriaan Valckenier, Gubernur Jendral VOC saat itu mengeluarkan kebijakan keras untuk mengurangi populasi etnis Cina di Batavia.
Beredarnya isu yang mengerikan membuat penduduk Cina di Batavia melakukan pemberontakan yang berujung pada pembantaian etnis Cina. Polemik semakin membesar ketika muncul isu di masyarakat pribumi bahwa orang-orang Cina berencana memerkosa perempuan pribumi dan membunuh para lelakinya.
Hal ini kemudian dimanfaatkan oleh Valckenier dengan melakukan sayembara di mana ia menjanjikan hadiah bagi siapa saja yang berhasil memenggal kepala orang-orang Cina.
Pembantaian yang berlangsung hingga 22 Oktober 1740 ini menewaskan 10 ribu lebih orang Cina, 500 orang lainnya luka berat, dan lebih dari 700 rumah warga Tionghoa dijarah dan dibakar oleh VOC maupun kaum pribumi. Tragedi berdarah ini dikenal dengan sebutan Geger Pacinan atau Tragedi Angke.
Schwarzen termasuk pelaku sejarah berdarah yang dimulai pada 9 Oktober 1740. Ia adalah salah satu serdadu VOC yang turut melakukan "pembersihan" warga Cina di Batavia (sebutan lama untuk Jakarta). Selama 13 hari, ribuan orang Tionghoa dibantai tentara Belanda. Tidak kurang dari 10 ribu jiwa melayang dalam tragedi yang terkenal dengan nama Geger Pecinan itu.
Geger Pacinan dikenal pula sebagai Tragedi Angke, merujuk nama daerah di pesisir utara Jayakarta atau Sunda Kelapa. Awalnya, Batavia --yang menjadi pusat kekuasaan VOC-- dibangun di atas puing-puing kota pelabuhan Jayakarta sebelum dipindahkan lebih ke tengah atau wilayah Jakarta Pusat sekarang. Pembersihan Imigran Cina Tindakan keji Belanda itu merupakan puncak masalah kependudukan di Batavia.Â
Orang-orang Cina dan peranakan merasa resah karena Gubernur Jenderal VOC saat itu, Adriaan Valckenier, memberlakukan kebijakan keras untuk mengurangi populasi etnis Cina di Batavia yang saat itu dianggap sudah terlalu banyak. Mulailah pengiriman orang-orang Cina dari Batavia ke wilayah koloni Belanda lainnya, termasuk Sri Lanka atau ke Afrika (Paul H. Kratoska, South East Asia, Colonial History: Imperialism Before 1800, 2001:122). Yang menjadi persoalan dan membuat resah, ada rumor mengerikan terkait pemberlakuan kebijakan tersebut.
Aksi berdarah yang mirip genosida alias pemusnahan etnis ini kemudian dikenal dengan istilah Chinezenmoord (Pembunuhan Orang Tionghoa), selain Geger Pacinan atau Tragedi Angke dalam ungkapan lokalnya. Angke sendiri konon berasal dari dua kata dalam bahasa Hokkian: ang yang artinya "merah" dan ke yang berarti "sungai" (Alwi Shahab, Betawi: Queen of the East, 2002:103). Dengan demikian, "angke" dapat diartikan "sungai merah", semerah banjir darah kaum Tionghoa yang dibantai di Batavia pada 1740 itu. Inilah salah satu cerita paling berdarah, juga perih, dalam sejarah Nusantara.
Sejarah mengulang dirinya sendiri. Pertama sebagai tragedi dan selanjutnya sebagai lelucon. Sebelum tragedi pemukulan ini, kelompok Tionghoa di Indonesia sudah mengalami banyak diskriminasi. Mei 2015 Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) melakukan protes terhadap Jokowi dan JK yang dituduh membela kelompok Asing dan Aseng. Asing merujuk kepada negara/pemerintahan asing yang melakukan intervensi ekonomi di Indonesia, sementara Aseng merujuk kepada kelompok minoritas Tionghoa yang dianggap memiliki kekuasaan besar dalam bidang ekonomi di Indonesia.
Berita yang berjudul "Bye, Bye, Bank Cina Asli. Bye?" edisi 25 Februari-03 Maret 2002, Tempo menuliskan tentang Bank Central Asia yang memiliki akronim BCA. BCA dimiliki oleh Liem Sioe Liong, orang Cina, asli kelahiran Fujian. Atribusi ini dianggap bermasalah karena melalui pemberitaannya itu Tempo menggiring pembacanya untuk berpikir "bahwa BCA adalah bank yang menghidupi orang-orang Cina". Indarwati menuduh bahwa Tempo melakukan framing karena istilah "Bank Cina Asli" itu bukan sebuah istilah yang bisa didengar di mana-mana hingga Tempo membaptisnya jadi plesetan umum.Â