Oleh Muhammad Subhan
Seolah berkelana kesana kemari
celanadalam itu merasa lelah
ia begitu rindu ingin pulang
“memang apa yang ingin
kau lakukan begitu sampai di rumah?”
tanya celanadalam lain yang juga
merasa hampa dengan kesepiannya
:aku ingin memeluk erat rasa malu
SAJAK Epri Tsaqib berjudul “Perjalanan Celanadalam” yang dimuat Majalah GONG edisi No. 100/IX/2008 silam itu merupakan sebuah otokritik terhadap makin pudarnya rasa malu manusia di era globalisasi hari ini. Malu yang menjadi harga diri seringkali digadai untuk menggapai kemashlahatan hidup yang semu; harta, pangkat, jabatan, popularitas, dan pristise.
Kasus amoral yang melibatkan sejumlah wakil rakyat di lembaga legislatif pusat maupun daerah di tahun-tahun sebelumnya, telah membuat malu rakyat yang mendudukkan mereka di lembaga terhormat itu. Belum lagi kasus korupsi yang menyeret banyak kepala daerah. Ternyata rakyat salah memilih. Wakil mereka adalah wakil yang tidak punya rasa malu. Diam-diam mereka senang dengan (maaf) ‘kemaluan’. Lalu mereka pun disebut oknum wakil rakyat yang berbuat malu dan ‘malu-maluin’.
Malu kita menyebut nama-nama wakil rakyat terhormat itu yang tertangkap sedang berduaan di kamar hotel dengan seorang perempuan yang bukan istrinya. Malu kita melihat wakil rakyat yang video mesumnya beredar di tengah masyarakat. Malu pula kita mendengar oknum wakil rakyat yang minta pesanan perempuan jika proyek yang diurusnya gol, dan sejumlah perilaku wakil rakyat lainnya yang sangat memalukan.
Kasus-kasus yang terungkap kepermukaan itu sebenarnya hanya sebagian kecil saja dari puncak gunung es. Mereka kebetulan ketiban sial tertangkap dan diekspose media massa. Tak tertutup kemungkinan yang lainnya banyak terlibat. Perlukah kemudian dipikirkan lembaga wakil rakyat memiliki Dewan Pengawas Moral?
Seringkali rakyat terkecoh dengan penampilan calon wakil mereka. Berlagak buya rupanya buaya. Berlagak alim rupanya maling. Berlagak sopan rupanya preman. Berlagak mulia rupanya mafia.
Sepakat kita, saatnya rakyat jual mahal. Setiap kali Pemilu, sebelum menjatuhkan pilihan, rakyat harus sebaik mungkin mengenali figur tokoh yang akan dipilih. Jangan sekedar pilih partai, karena partai hanya kendaraan yang ditumpangi calon wakil rakyat. Sebab, lihatlah, usai Pemilu kantor-kantor partai sepi penghuni. Sebagus apapun kendaraan jika sopir dan penumpangnya tidak bermoral alamat masuk jurang juga.
Harapan kita, semoga, para wakil rakyat yang terpilih pada Pemilu-Pemilu berikutnya adalah wakil rakyat yang benar-benar menjunjung tinggi rasa malu. Sebab, jabatan yang mereka dapatkan, adalah amanah rakyat yang suatu saat akan dimintai pertanggung jawaban di hadapan Tuhan. []