Oleh: Muhammad Subhan
Wakil Ketua Dewan Pers Leo Batubara ketika berbicara dalam seminar Hari Pers Nasional (HPN) 2009 silam bertempat di Hotel Century Park, Senayan, Jakarta, 9 Februari 2009 mengutip tulisan wartawan senior Rosihan Anwar bahwa 80 persen wartawan adalah pemeras. Namun kata Leo, biasanya yang diperas adalah para pemeras juga. Hmm!
Beberapa situs berita di internet mengutip pernyataan Leo itu. Dan, apa yang diungkapkan Leo Batubara cukup beralasan bahwa pascareformasi di Indonesia pertumbuhan jumlah wartawan meningkat tajam seiring menjamurnya jumlah penerbitan pers tanpa perlu pusing mengurus izin terbit. Kondisi itu berlaku hingga akhir 2011 ini. Asal ada duit apapapun nama medianya dalam waktu singkat bisa terbit.
Banyaknya media baru itu dengan sendirinya membutuhkan wartawan-wartawan baru pula. Kalau dulu orang tak semudah membalik telapak tangan menjadi wartawan, maka sekarang seiring menjamurnya media siapapun biasa menjadi wartawan, bahkan seorang preman pasar sekalipun. Kalau dulu orang membutuhkan sejumlah pendidikan karir jurnalistik berjenjang, sekarang orang tak bersekolah pun bisa jadi wartawan asal punya lobi dengan pimpinan perusahaan pers bersangkutan.
Karena semakin mudahnya menjadi wartawan tak heran pula lahir oknum-oknum wartawan “preman” berjiwa pemeras seperti diungkapkan Leo Batubara. Lalu dunia wartawan pun diselimuti para “preman” yang mengancam stabilisasi pers dan nama baik wartawan yang profesinya diletakkan sebagai pilar ke empat demokrasi.
Saya mencermati, perkembangan jumlah media massa di era reformasi mengalami lonjakan luar biasa dari era Orde Baru, di mana setahun pascareformasi dalam satu hari terbit lima media massa baru.
Dari berbagai sumber disebutkan bahwa selama 32 tahun era orde baru berdiri 289 media cetak, enam stasiun televisi dan 740 radio. Setahun pascareformasi jumlah media cetak melonjak menjadi 1.687 penerbitan atau bertambah enam kali lipat. Jika dihitung dengan skala waktu, berarti setahun pascareformasi telah lahir 1.389 media cetak baru, atau 140 per bulan atau hampir lima media per hari.
Di tahun 2008, jumlah media cetak itu telah berkurang dan tercatat sebanyak 830, televisi 60 media, radio pakai izin 2.000 media dan radio tanpa izin mencapai 10 ribu media. Sedangkan jumlah wartawan saat ini mencapai 40 ribu orang. Banyaknya jumlah wartawan itu, akhir tahun ini muncul juga wacana akan adanya sertifikasi wartawan layaknya guru sehingga akan terdatalah wartawan-wartawan resmi. Tapi apakah sertifikasi itu sudah menjadi jaminan bahwa wartawan bersangkutan tidak menjadi “preman”?. Atau apakah dengan sertifikasi itu pula menjadi jaminan akan adanya gaji tambahan sebesar gaji pokok layaknya guru yang lulus sertifikasi? Entahlah!
Menurut anggota Dewan Pers Wikrama Iryans Abidin yang dikutip salah satu media, melonjaknya jumlah media massa pascareformasi tidak bisa dilepaskan dari proses liberalisasi pers sejalan dengan pergeseran dari sistim politik otoriter ke demokrasi. Dari sekitar 40 ribu wartawan Indonesia hanya 20 persen atau sekitar 8.000 orang saja yang paham dengan Kode Etik Jurnalistik dan UU No. 40/1999 tentang Pers. Ini menunjukkan bahwa masuk ke profesi wartawan begitu longgar. Semua bisa jadi wartawan tanpa kompetensi dan kompetisi bahkan etika dan moral. Modalnya cukup kartu pers.
Banyaknya wartawan, menurut Wikrama lagi, tidak terlepas dari kondisi negara yang krisis. Cari kerja sulit, dan akhirnya banyak yang jadi wartawan untuk sekadar menumpang hidup dan mencoba terus bertahan dari himpitan ekonomi. Di lain sisi banyak penerbitan pers yang belum mampu mensejahterakan para wartawannya dengan gaji yang layak. Kondisi ini, tentu saja, membuat kita harus merenung, akankah marwah pers di mata publik tetap baik? Semoga saja.
Selamat menyongsong tahun baru 2012. Bravo wartawan Indonesia! (*)