Oleh Muhammad Subhan
Tidak enak tinggal di daerah dengan potensi bencana besar seperti Sumatera Barat. Tapi apa mau dikata, ini sudah tanah kita yang warisannya tetap harus dijaga. Dan, tinggal di negeri orang pun, yang namanya maut tetap akan menjemput jika ajal telah tiba. Maka satu-satunya sikap bijak adalah memperteguh iman, cakap menghadapi kemungkinan terjadinya bencana dan membuat rekonstruksi bangunan yang kokoh hingga memperkecil dampak bencana.
Empat tahun terakhir sejak 2007 silam, dua kali musibah gempa bumi besar melanda tanah kita. Gempa bumi 6 Maret 2007 berkekuatan 5,8 scala richter (SR) di kedalaman 33 km berjarak 16 kilometer Barat Daya Batusangkar, itu telah menyebabkan lebih dari 70 orang meninggal dunia dan ribuan rumah penduduk serta infrastruktur pemerintah rusak. Untuk sekian lama kita harus bangkit dari keterpurukan itu.
Naasnya, belum lagi kering air mata akibat gempa bumi 2007 silam, musibah yang sama menimpa kembali tanah kita Sumatera Barat, 30 September 2009. Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat, sebanyak 1.117 orang meninggal dunia, ribuan luka-luka dan puluhan ribu rumah dan bangunan lainnya rusak parah. Air mata yang nyaris kering pun tumpah kembali. Berdarah.
Di kota Padang Panjang, sejarah buram yang ditorehkan gempa bumi terjadi sejak 84 tahun silam. Orang tua kita tidak akan lupa kenangan pahit pada 28 Juni 1926, di mana gempa besar melanda Padang Panjang. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana mencatat, “Gampo Padang Panjang” itu menyebabkan lebih dari 354 orang meninggal dunia. Gempa pun menimbulkan bencana di sekitar Danau Singkarak, Bukittinggi, Danau Maninjau, Kabupaten Solok, Sawahlunto, dan Alahan Panjang. Gempa susulan mengakibatkan kerusakan pada sebagian Danau Singkarak. Di Kabupaten Agam (termasuk Bukittinggi – Bonjol, Pasaman) sebanyak 472 rumah roboh di 25 lokasi, 57 orang tewas, 16 orang luka berat. Di Padang Panjang sendiri sebanyak 2.383 rumah roboh, 247 orang tewas. Terjadi rekahan tanah di Padang Panjang, Kubu Krambil dan Simabur.
Dalam catatan Buya Hamka, Inyiak DR (DR Abdul Karim Amrullah, ayah Buya Hamka) yang dulu memiliki rumah di Padang Panjang, harus pulang kembali ke Sungai Batang Maninjau lantaran rumah beliau di masa itu juga hancur, rata dengan tanah akibat dihoyak gempa. Kenangan itu diceritakan Buya Hamka dalam Buku “Ajahku” yang merupakan buku biografi sang ayah yang dikarangnya. Orang-orang tua ‘saisuak’ yang lahir di masa itu lebih suka menyebut tahun lahirnya dengan sebutan ‘Den lahir waktu gampo Padang Panjang’ (saya lahir ketika terjadi gempa Padang Panjang—pen).
Meski gempa bumi sebenarnya tidak mematikan, namun musibah itu menyebabkan kerusakan parah bangunan di sekitar pusat gempa. Bangunan-bangunan yang roboh itulah yang menyebabkan kematian bagi manusia yang berada di dalamnya. Dan, belum ditemukan alat yang dapat mendeteksi kapan akan terjadi gempa.
Ilmu pengetahuan menyebutkan masih adanya potensi gempa di bumi Padang Panjang. Hal tersebut lantaran daerah ini dilewati patahan semangka Tandikek - Padang Panjang - Singkarak yang menyebabkan gempa tektonik. Posisi gempa tektonik itu arah pergeserannya mendatar. Proses terjadinya gempa tektonik ini, menurut para pakar gempa, diawali dengan pergeseran lapisan kulit bumi (litosfir). Pergeseran ini akan terus terjadi sehingga menimbulkan panas yang lama kelamaan panas itu mengakibatkan patahan. Patahan inilah yang menimbulkan energi yang mengakibatkan gempa bumi.
Menyikapi patahan semangka yang melintasi Padang Panjang, tentu menjadi catatan tersendiri bagi pihak-pihak pengambil kebijakan (pemerintah) untuk proaktif mengingatkan masyarakat agar tidak mendirikan bangunan di sekitar patahan semangka. Sebab jika terjadi gempa bumi tentu kerusakan paling parah terjadi di daerah sekitar episentrum. Sedangkan daerah-daerah yang berada agak jauh dari pusat episentrum, dampak goncangannya tidak terlalu kuat dan efek kerusakan dapat diminimalisir.
Di sini pentingnya Pemerintah Kota Padang Panjang menjalin kerjasama dengan pihak berwenang terkait kegempaan untuk membuat peta daerah patahan semangka itu. Di mana lokasi tepatnya agar masyarakat waspada sehingga tidak mendirikan bangunan di wilayah itu. Di samping juga membuat pemukiman penduduk yang jauh dari pusat patahan dengan kontruksi bangunan anti gempa. Sebab, di Padang Panjang masih didominasi oleh bangunan-bangunan tua yang diragukan kekokohan rekontruksinya sehingga ketika terjadi gempa dikuatirkan akan menimbulkan korban jiwa.
Harapan kita, semoga, tidak akan terulang lagi bencana yang menoreh luka dan air mata di tanah kita. Cukuplah bencana yang sudah-sudah. Tuhan, izinkan kami membangun peradaban yang baik di tanah kami sendiri. (*)