Novel Muhammad Subhan
Dari sudut lapangan kulihat keempat anak brandalan itu tertawa mengejek. Layangan mereka telah melenggak-lenggok di angkasa.
“Oiii... mana layangan Kau itu? Takutkah kalian?” teriak Ucok dari kejauhan.
Aku dan Bondan tak meladeni teriakan Ucok. Gelasan benang sudah siap dan aku sedang mengambil ancang-ancang menerbangkan layangan. Begitu juga Bondan. Tak lama kemudian angin menerbangkan layangan kami ke angkasa.
Enam layangan meliuk-liuk di langit. Bersiap adu ketangkasan.
Secara bersamaan keempat layangan lawan itu mendekat ke arah layanganku dan layangan Bondan. Gerak ke empat layangan itu seolah penuh keberingasan. Hendak cepat-cepat menuntaskan pertandingan.
Bondan tetap bersikap tenang. Benang di tangannya ia mainkan penuh konsentrasi. Bila keempat layangan lawan itu memburu mendekat ke arah layangan kami, tapi Bondan tidak mengejar ke arah layangan lawan.
“Kita haru setenang mungkin,” katanya seolah berbisik.
Aku tak menjawab. Mataku tetap fokus ke arah layanganku yang dekat dengan layangan Bondan.
“Manfaatkan tenaga lawan. Ketika mereka menyerang, secepatnya Kau ulurkan benang dengan gesekan ke bawah. Jangan terlalu keras. Kau rasakan benang lawan menyentuh benang kau itu. Jangan juga Kau tahan. Terus Kau ulurkan nanti,” kata Bondan. Strategi perangnya sudah mulai ia jalankan. Aku menganggukkan kepala. Paham.
Jarak keempat layangan yang mendekat ke arah kami sudah sangat dekat. Mungkin sekitar setengah meter. Geraknya menukik tajam. Menyerang. Aku mengikuti nasihat Bondan. Tidak melakukan perlawanan. Lebih menunggu serangan lawan.