Novel Muhammad Subhan
21
KACU PRAMUKA
Suatu hari di Sabtu pagi, dua orang anak laki-laki dan seorang anak perempuan berseragam Pramuka masuk ke kelasku di I-3. Ketiga anak itu kelas dua. Mereka anggota Pramuka di SMP Palda. Berseragam Pramuka seperti itu, membuat mereka tampak gagah dan berwibawa. Mereka masuk mengetuk pintu lalu minta izin kepada guru kelas untuk menyampaikan sesuatu kepada kami warga kelas.
Yang paling tegap dan tinggi badannya memperkenalkan diri sebagai Yono. Dia orang Jawa. Temannya Lim, dan yang perempuan Linda. Kami memanggil mereka dengan sebutan Kakak, disamping mereka memang lebih tua usianya dari kami yang masih kelas satu. Kak Yono menyampaikan bahwa Pramuka SMP Palda setiap tahunnya menerima siswa yang ingin menjadi anggota Pramuka. Saat itu juga direkrut siswa yang berminat. Tidak ada pemaksaaan. Siapa yang mau saja.
Aku tolehkan pandangan kiri kanan. Andi, kawanku yang duduk di pojok tengah kelas mengacungkan tangan. Lalu disusul Susi, anak yang paling cantik di kelas dan rambutnya berkepang dua juga mengacungkan tangannya. Said, kawanku yang paling pendek dan kecil tubuhnya mendaftar juga. Lalu disusul beberapa kawan yang lain. Karena banyak di antara kawan-kawanku yang minat menjadi anggota Pramuka, spontan juga aku mengacungkan tangan mendaftarkan diri. Aku ingin mencari pengalaman dan tentu juga kawan pada setiap latihan.
Nama-nama yang mengacungkan tangan itu dicatat oleh Kak Linda yang bertugas sebagai pendata anggota baru. “Kamu siapa namanya?” tanya Kak Linda sembari menoleh ke arahku.
“Agam,” jawabku.
“Mulai Sabtu depan, sore jam 3 kita latihan. Adik-adik anggota baru diharapkan berseragam semuanya. Silakan beli atribut Pramuka di toko peralatan Pramuka terdekat,” ujar Kak Yono. Dia tersenyum memandangi kami satu persatu. Tak lama kemudian ketiga anak Pramuka itu pamit dan beranjak ke kelas sebelah.
Pelajaran pun dilanjutkan kembali. Tapi pikiranku tidak fokus. Yang terbayang-bayang di benakku, dari mana uang untuk membeli peralatan Pramuka itu? Aku tak berani meminta uang kepada bapak atau ibu. Sebab akhir-akhir ini, sejak pindah ke Kruenggeukueh, pendapatan bapak semakin berkurang. Ibu pun tidak berjualan kue lagi. Ibu hanya membantu mencuci dan menggosok di rumah seorang camat di dekat rumah. Tak ada pekerjaan lain yang dapat menghasilkan uang tambahan.
Di saat jam istirahat aku duduk di pojok ruang laboratorium. Kawan-kawanku yang lain bergerombolan ke kantin yang berada di samping sekolah. Jajan tentunya. Hari itu aku tak punya uang jajan. Saat duduk-duduk, tiba-tiba ada seseorang yang menepuk pundakku. Andi, kawan sekelasku.
“Ngapain kau di sini?” tanyanya. Dia datang dengan membawa dua buah pisang goreng. “Ini untukmu satu.”