Novel Muhammad Subhan
20
RUMAH BARU SEKOLAH BARU
Aku menemui Din Patuk di rumahnya. Anak itu sedang menggulung benang layang-layang. Sekarang memang sedang musim layangan. Anak-anak bermain layangan di pinggir laut. Mereka bisa memanfaatkan angin darat ataupun angin laut. Hamparan pantai yang yang luas dan landai memungkinkan bermain layangan, apalagi bila laut sedang tenang dan tidak berombak besar.
Ah, terkenang aku masa kecil di Tembung dulu ketika aku dan Bondan, kawan karibku, menang adu layangan dengan anak-anak kampung tetangga yang sombong. Entah bagaimana kabar anak itu sekarang. Tentu dia akan masuk SMP pula seperti aku, atau tidak sama sekali mengingat ekonomi kedua orangtuanya tak jauh beda dengan keluargaku. Tapi aku berdoa dan berharap Bondan meneruskan sekolahnya.
“Aku dengar kau akan pindah, Gam?” tanya Din Patuk ketika aku telah masuk dan duduk di ruang tengah rumahnya. Di rumah itu dia sendiri saja. Bapaknya pergi melaut. Ibunya ke pasar.
“Iya, Din. Bapak dan ibuku akan pindah rumah, tentu aku akan ikut serta. Katanya ke Kruenggeukueh, di mana itu?”
Aku duduk mendekat Din Patuk. Kerjanya menggulung benang layangan hampir selesai. Jam sudah menunjukkan pukul 3 sore.
“Aku pernah sekali lewat kampung itu. Dibawa bapakku ke rumah paman di Bireuen. Kruenggeukueh dekat pabrik ASEAN, itu pabrik pupuk paling besar di Aceh,” jawab Din Patuk.
“Apakah di sana seramai di kampung ini, Din?”
“Sama sajalah aku kira, tapi lebih ramai Lhokseumawe tentunya. Ini kan kota. Di sana hanya kampung saja.”
Aku mengangguk. Anak itu terus menyelesaikan kerjanya.
“Kau bisa main layangan?” tanya Din Patuk mengalihkan pembicaraan.