Novel Muhammad Subhan
Lusa lebaran tiba. Jemaah yang melaksanakan salat tarawih di masjid tetap ramai, terutama anak-anak seusiaku.
Sekali-sekali aku dan teman-temanku berbuka puasa di masjid. Pengurus masjid menyediakan penganan berbuka puasa bagi jemaah yang ingin berbuka di masjid. Sebab waktu magrib yang pendek dan keutamaan salat berjemaah di masjid, sangatlah bagus bila berbuka puasa dilakukan di masjid.
Beberapa kali aku ikut berbuka puasa di masjid. Tentu saja aku senang, walau minumannya hanya kopi atau teh hangat, tapi kue-kuenya enak-enak dan nikmat. Biasanya jemaah sekitar masjid yang mengantar kue-kue itu. Ketika beduk berbuka tiba, akulah yang paling duluan dan paling banyak memakan kue-kue yang terhidang itu.
Di Aceh mayoritas orang salat tarawih berjemaah 23 rakaat. Di masjid kampungku juga 23 rakaat. Bacaan imamnya panjang-panjang. Sering aku terkantuk-kantuk lantaran lamanya berdiri. Belum lagi setiap rakaat seusai salam diselingi salawat nabi dan doa. Salat baru selesai pukul 11 malam. Walau demikian orang tetap ramai datang ke masjid. Suasana ibadah benar-benar terasa dan indah.
Ramainya masjid ketika itu, mungkin juga karena layar televisi belum banyak di rumah-rumah warga. Apalagi di rumahku, kami tidak punya televisi. Tetangga pun satu dua rumah saja yang didalamnya ada televisi. Sebagian besar warga di Kampung Jawa Lama itu tidak punya televisi. Jadi daripada tidak ada kerjaan di rumah, maka ramailah orang datang ke masjid. Di samping memang ibadah di masjid keutamaannya sangat besar di bulan Ramadhan.
Di saat salat tarawih kawanku Din Patuk sering berbuat usil. Dia suka menukar-nukar sendal jemaah. Tak heranlah kalau seusai salat tarawih banyak jemaah yang mengeluhkan sendalnya hilang. Sebenarnya tidak hilang, tapi sendal itu posisinya dipindah-pindah oleh Din Patuk. Pasangan sendal satu ditukar dengan pasangan sendal yang lain. Kelabakanlah orang yang punya sendal dibuatnya.
Beberapa kali Din Patuk tertangkap basah pengurus masjid ketika melakukan aksinya, tapi dia santai saja dan cengengesan setiap kali ditanya. Nakalnya minta ampun. Aku pernah diajaknya beberapa kali berbuat demikian. Tentu saja aku menolak. Dia marah kepadaku. Aku tak peduli. Habis salat aku berlari pulang meninggalkan dia seorang diri.
Disaat malam lebaran, suasana Kampung Jawa Lama teramat semaraknya. Di masjid dikumandangkan suara takbir. Alunannya bergema ke seantereo kampung. Di rumah-rumah terlihat sangat suka citanya orang-orang menyambut lebaran datang keesokan harinya. Sejak beberapa hari sebelumnya, rumah-rumah itu sudah dibersihkan, dicat yang rapi, bila perlu perabotan ditambah. Ibu-ibu dan anak-anak gadis memasak kue lebaran di dapur. Keluarga yang di rantau telah pulang pula ke kampung menjenguk kedua orangtua mereka. Pokoknya wajah-wajah ceria saja yang terlihat di dalam rumah-rumah itu.
Bagaimana di rumahku? Biasa saja. Ibu hanya membuat kue kembang loyang dan kue wajik bandung. Itu saja. Sebagai minumannya bapak membeli dua botol sirup. Tirai jendela tak berganti, tampak kusam. Ruang tamu hanya dialasi tikar saja. Perabotan tak ada, kecuali sebuah kalender usang bergantung di dinding dan radio butut di sudut ruang. Rumah tak bercat, sebab bapak tak cukup uang membeli cat. Yang punya rumah tentulah tak mau mengeluarkan uang membeli cat yang harganya melebihi uang sewa kontrakan rumah kami sebulan.
Usai salat magrib, bapak dan ibu mengajakku duduk di kursi meja makan. Ibu sudah memasak sejak sore tadi. Ibu membuat sayur tumis kangkung kesukaanku, goreng ikan pari asin kering dan cabai merah kasar campur terasi. Walau lauk pauk itu sederhana, tapi nikmatnya mengundang selera. Tentu saja itu tak lepas dari kepandaian ibu memasak. Kami sangat lahap makan masakan ibu, bahkan bapak bertambah dua-tiga kali nasi di piringnya. Apalagi aku yang paling banyak makan bila di rumah.