Mohon tunggu...
Muhammad Subhan
Muhammad Subhan Mohon Tunggu... -

Muhammad Subhan, seorang jurnalis, penulis dan novelis. Editor beberapa buku. Tinggal di pinggiran Kota Padangpanjang. Bekerja di Rumah Puisi Taufiq Ismail. Nomor kontak: 0813 7444 2075. Akun facebook: rahimaintermedia@yahoo.com, email aan_mm@yahoo.com. Blog: www.rinaikabutsinggalang.blogspot.com.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kisah Tentang Perempuan Senja di Gunung Padang

19 Oktober 2011   05:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:46 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerpen Muhammad Subhan

Kalau Kau datang pada senja hari di Kota Padang, sempatkanlah singgah sebentar di tepian Muara Pantai Padang. Di sana Kau akan mendapati sederetan pohon nyiur yang melambai ditiup sepoinya angin pantai. Kau juga akan mendengar lenguhan ombak yang berdebur menjilati bibir pantai bersama nyanyian camar yang mengulik menangkap ikan. Pasir pantai yang putih berkilauan diterpa sinar matahari senja berwarna kuning keperakan akan menambah semarak pemandangan senja yang selalu ramai dinanti anak muda remaja yang sedang jatuh cinta. Kau akan merasakan betapa indahnya pesona senja itu yang bertengger seperti lempengan perak di atas kaki langit sana.

Kalau Kau melepaskan pandangan ke tengah samudera, Kau akan melihat biduk-biduk yang mengembangkan layar menantang ganasnya gelombang. Kau juga akan terpesona menyaksikan pulau-pulau kecil di tengah lautan yang mengapung seperti permadani dihamparkan. Sekali-sekali Kau akan menyaksikan kapal-kapal yang mendaratkan badannya di tepian pulau-pulau itu. Namun ada pula kapal-kapal itu hanya sekedar lewat saja tanpa hendak menurunkan sauh pada pulau-pulau yang konon menurut cerita orang memiliki pantai-pantai terindah.

Dan jika Kau menoleh ke belakang, Kau akan mendapati perkampungan kecil nelayan yang setiap hari penduduknya berkutat dengan pukat, ikan, jaring dan biduk. Setiap senja datang, Kau akan melihat sekelompok anak-anak nelayan bertelanjang dada berlarian di tepian pantai. Mereka berkejar-kejaran ke sana ke mari menikmati kehadiran senja dan selalu terpancar rona kegembiraan di wajah mereka. Kau tak akan mendapati wajah kuyu dan sedih pada roman mereka yang dijuluki orang anak-anak laut.

Di perkampungan tepian pantai itu pula, Kau akan melihat sekelompok perempuan tua yang mengumpulkan ikan-ikan kering yang telah selesai dijemur. Mereka tampak senang dengan pekerjaan yang membuat bau keringat anyir dan pakaian lusuh. Kau akan kagum pula dengan perempuan-perempuan itu yang tetap semangat walau usia mereka telah senja. Meski begitu mereka juga senantiasa merindukan kedatangan senja dan tiada pernah peduli bahwa kehadiran senja bukan untuk menemui mereka.

Setelah semua panorama itu Kau nikmati, jangan lupa tolehkan pula pandangan ke atas bukit tepian Muara. Kau akan melihat indahnya panorama Gunung Padang—tepatnya sebuah bukit yang menjorok ke laut—yang menjulang tempat bersamayamnya pusara Siti Nurbaya, kekasih Syamsul Bahri korban kawin paksa adat Minangkabau di masa silam yang Kau baca kisahnya dalam roman Siti Nurbaya karangan Marah Rusli. Di Gunung Padang itu pula Kau akan menemui sejumlah meriam tua peninggalan tentara Jepang sebagai benteng pertahanan untuk menghalau musuh yang hendak masuk ke bibir Muara.

Untuk dapat naik ke puncak Gunung Padang itu Kau harus mendaki ratusan anak jenjang yang panjang berliku-liku. Kalau Kau merasa keletihan, cobalah sejenak hamparkan pandangan ke arah sebelah kanan. Kau akan menyaksikan indahnya riak gelombang laut biru dan semaraknya gedung-gedung yang menjulang di tengah Kota Padang, nun jauh di sana. Semua panorama itu akan mehilangkan kepenatan kaki ketika mendaki ratusan anak jenjang, sehingga Kau senantiasa memuji keindahan alam ciptaan Tuhan.

Sesampainya Kau pada jenjang ke tiga ratus, berhentilah sejenak. Kau dapat beristirahat pada sebuah pondok mungil yang menghadap ke laut. Di pondok itu Kau akan dapati seorang perempuan berusia sekitar 45 tahun dengan baju lusuh dan aroma tubuh yang kurang sedap. Jangan sekali-kali Kau usik dia, karena perempuan itu akan berang dan memaki-maki orang yang usil mengganggunya. Tapi sebenarnya perempuan itu tidak sejahat prasangka orang-orang yang sering memperbincangkan dirinya.

Kau akan berjumpa dengan perempuan itu jika Kau berkunjung ke sana pada setiap senja. Jika pagi dan siang hari Kau datang, jangan Kau harap perempuan itu akan menampakkan rupa. Dia selalu mengunci rapat pintu bilik pondok yang tampaknya memang dikhususkan sebagai tempat rehabilitasi perempuan yang tinggal sendirian itu. Menurut cerita orang, konon perempuan itu adalah salah seorang gadis seorang nelayan miskin yang tinggal di perkampungan tepi Muara. Perempuan itu diasingkan kedua orangtuanya ke lereng Gunung Padang dua puluh lima tahun silam karena dia mengidap suatu penyakit jiwa yang tak ada obatnya.

Konon, menurut cerita penduduk di kampung nelayan itu, sewaktu usia perempuan itu masih muda belia ia pernah menjalin cinta dengan seorang lelaki pelaut yang selalu mendaratkan biduknya ketika senja tiba. Lelaki itu datang dari pulau seberang yang kedatangannya ke tepian Muara Pantai Padang selalu dirindukan perempuan itu. Bertahun-tahun lelaki pelaut dan perempuan itu menjalin hubungan kasih, hingga suatu ketika perempuan itu hamil. Penduduk di kampung nelayan di tepian Muara tidak mengetahui siapa gerangan ayah pemilik janin yang dikandung perempuan itu, sehingga perempuan itu diusir dari kampung nelayan tempat tinggalnya. Tetapi setelah anak yang dikandung perempuan itu lahir, perempuan itu kembali ke kampung nelayan di tepian Muara membawa bayi laki-laki yang selalu tertidur di gendongannya. Tapi malang nasib yang ditanggung perempuan itu, anak hasil hubungan gelapnya dengan lelaki pelaut kekasihnya harus ia relakan dipanggil Tuhan karena mengidap suatu penyakit yang menyebabkan kematian.

Sejak kehilangan bayi dan ditinggal lelaki pelaut yang tak lagi pernah datang ke tepian Muara, membuat perempuan itu jadi terganggu jiwanya. Perempuan itu selalu tertawa dan bicara seorang diri sembari menyebut nama lelaki pelaut dan bayinya yang telah mati. Orang-orang di kampung nelayan merasa kasihan melihat keadaan perempuan malang itu. Akhirnya penduduk di kampung nelayan itu mengusulkan pada orangtua perempuan itu untuk mengasingkannya pada sebuah pondok di lereng Gunung Padang. Maka tinggallah perempuan malang yang selalu merindukan kedatangan senja dan sosok lelaki pelaut kekasihnya di lereng Gunung Padang itu seorang diri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun