[caption id="attachment_139321" align="aligncenter" width="644" caption="Eksotisme laut Teupah Selatan Simeulue dikala fajar menyingsing di kaki langit."][/caption] Catatan Muhammad Subhan*) BANDARA Lasikin Pulau Simeulue masih basah ketika pesawat penumpang Susi Air berbadan kecil mendarat di landasannya, pagi itu. Jam baru menunjukkan pukul 7.45. Belum tampak aktivitas yang terlalu mencolok. Hanya beberapa petugas bandara dan penyambut tamu terlihat di ruang tunggu. Itulah pertama kali saya menginjakkan kaki di Pulau Simeulue, Provinsi Aceh setelah sekian lama kerinduan itu membuncah di jiwa. Selama ini Simeulue hanya ada dalam mimpi-mimpi saya. Alhamdulillah mimpi itu terwujud ketika saya mendapat kesempatan menikmati keindahan alam pulau ini dalam sebuah undangan kegiatan pelatihan jurnalistik, di pertengahan tahun lalu di Sinabang. Memandang Simeulue dari atas pesawat ketika masih di udara, aura eksotisnya terlihat mengusik mata. Mengenangkan saya pada Pulau Bali yang beberapa kali pernah saya singgahi. Sama-sama memiliki keindahan alam yang luar biasa. Hanya bedanya Bali telah berkembang pesat di sektor pariwisata dan mendatangkan banyak wisatawan, sedangkan Simeulue baru bangkit mengejar ketertinggalan. Simeulue baru 12 tahun menjadi kabupaten definitif, bagian dari Provinsi Aceh. Tak mustahil kalau beberapa puluh tahun kemudian Simeulue bisa menjadi “Pulau Bali”nya Sumatera. Tentu saja itu tidak sekedar mimpi. Simeulue memiliki potensi yang layak dikembangkan di sektor pariwisata. Keindahan pantai berbatu karang (Pantai Babang), sebagian pantai berpasir putih dan landai (khususnya di Teupah Selatan), kekayaan laut baik lobster, ikan, udang, maupun terumbu karang, serta kemajemukan budaya lokalnya, menjadikan Simeulue bernilai “laik jual”. Salah satu keindahan alam Simeulue terlihat di Pantai Babang, sebuah objek wisata yang dibuka TNI melalui kegiatan manunggal. Pantai yang cantik, meski masih banyak yang perlu dibenahi, seperti belum adanya pondokan tempat beristirahat pengunjung, MCK dengan air yang memadai, akses jalan masuk yang belum diaspal, serta tidak adanya kios-kios yang menjual minuman, makanan maupun souvenir (semoga sekarang semua itu sudah tersedia—pen). Namun yang pasti pantai ini potensial dikembangkan dan menjadi salah satu ikon pariwisata Simeulue.
[caption id="attachment_139322" align="aligncenter" width="576" caption="Habis mendarat di Bandara Lasikin Sinabang dengan pesawat berbadan kecil."][/caption] Saya juga sempat menyinggahi Teupah Selatan, daerah yang menjadi pusat tsunami pada 26 Desember 2004 silam. Saat itu saya dan kawan-kawan bersepeda motor di malam hari melintasi jalan pantai beraspal yang gelap gulita. Malam itu perjalanan sangat mencekam dan membutuhkan waktu lebih kurang satu jam menuju Teupah Selatan. Yang mendebarkan, sepeda motor yang saya tumpangi tidak berlampu depan. Untunglah sepeda motor kami diiringi sepeda motor yang dibawa dua orang rekan di belakang. Malam itu kami juga melintasi pemukiman yang tak lagi dihuni penduduknya. Terlihat di kiri kanan jalan rumah-rumah kosong, gedung sekolah, dan juga masjid dalam kondisi tak terawat. “Dulunya pemukiman di sini ramai, sekarang sudah ditinggalkan pascatsunami,” ujar seorang kawan yang mendampingi perjalanan kami ke Teupah Selatan. Pemukiman itu dekat laut, pusat gempa dan tsunami tujuh tahun lalu. Masyarakat Simeulue punya kearifan lokal dalam kesiagaan menghadapi gempa dan tsunami. Saat terjadi gempa besar semua penduduk lari ke gunung menyelamatkan diri, sehingga saat terjadi tsunami korban jiwa dapat dihindari. Di Teupah Selatan inilah saya sempat bermalam, di rumah seorang kawan. Sempat pula menikmati hidangan gulai ikan yang masih segar. Paginya menanti kedatangan fajar yang menyingsing di ufuk timur. Lanscap alam yang sangat indah. Mengundang rasa yang membuncah. Mencipta kedamaian. Di saat saya harus meninggalkan Simeulue, bertolak ke Medan lalu pulang kembali ke Padang, di Bandara Lasikin Sinabang, ketika pesawat Susi Air meninggalkan landasan, ada perasaan yang tak bisa saya lukisan dengan kata-kata. Entah mengapa, saya merasa rindu untuk tinggal berlama-lama di Pulau ini. Semoga di suatu ketika nanti. [] *) Jurnalis, penulis dan novelis. Tinggal di pinggir Kota Padangpanjang, Sumatera Barat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H