[caption id="attachment_138868" align="aligncenter" width="653" caption="Penyair Taufiq Ismail bersama guru-guru SD se Sumatra dalam Diklat MMAS di Rumah Puisi."][/caption] Catatan Muhammad Subhan Irzen Hawer, Guru Bahasa dan Sastra Indonesia SMA Negeri 1 Batipuh, Kabupaten Tanahdatar, Sumatera Barat tidak pernah bermimpi bisa melahirkan dua novel dalam waktu relatif singkat, enam bulan. Padahal, di usianya yang sudah beranjak 52 tahun itu, sebelumnya tidak pernah terpikir akan menulis. Setelah dua novel itu benar-benar lahir baru ia termenung, ke mana saja ia selama ini sehingga tidak satu pun karya tulis yang ia miliki. “Saya benar-benar merasa rugi, di usia yang sudah tua ini baru mau menulis. Andai dulu saya menulis, sejak masih muda, mungkin sudah puluhan buku yang saya hasilkan,” sesal Irzen Hawer dalam kesempatan berbincang-bincang dengan penulis beberapa waktu lalu di Rumah Puisi Taufiq Ismail, Nagari Aie Angek, Kecamatan X Koto, Kabupaten Tanah Datar. Sarjana Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia IKIP Padang tamatan 1985 ini, telah merampungkan empat novel berlatar Minangkabau yang masing-masingnya berjudul “Cinta di Kota Serambi” (2010), “Prosa Cinta di Kota Serambi” (2011), “Gerhana di Kota Serambi” (2011), dan “Gadis Berbudi” (akan terbit). Dua novelnya—Cinta di Kota Serambi dan Prosa Cinta di Kota Serambi—menjadi novel yang cukup di minati masyarakat khususnya di Sumatera Barat. Apa yang memotivasi Irzen Hawer hingga ia menulis novel? Kepada penulis ia bercerita, semangat menulisnya mulai muncul ketika pada Desember 2008 ia berkesempatan mengikuti pelatihan Membaca, Menulis dan Apresiasi Sastra (MMAS) yang diadakan Rumah Puisi Taufiq Ismail untuk guru-guru Bahasa dan Sastra Indonesia se Kabupaten Tanah Datar. Selama sehari menggali ilmu dari Penyair Taufiq Ismail dan Novelis Ahmad Tohari, ia mendapat pelajaran berharga bahwa budaya membaca akan menumbuhkan minat menulis di kalangan guru. Ahmad Tohari memberikan wejangan, guru yang bijak adalah guru yang tidak saja memberi teori di hadapan murid-muridnya, tapi juga menuliskan apa yang dibicarakannya. Menyimak Ahmad Tohari itu, Irzen Hawer terenyuh lalu sepulangnya dari pelatihan di Rumah Puisi, beberapa malam ia merenung. Jiwanya merasa resah dan gelisah. Kadangkala ia tidak tidur semalaman sehingga di pagi hari saat masuk kelas wajahnya kusut masai. Keadaan itu tentu saja tidak sehat. Kecamuk batinnya yang meronta membawanya pada sebuah keputusan bersejarah dalam hidupnya, yaitu mulai tanggal 1 Januari 2009 ia tekadkan menulis novel. Targetnya satu tahun satu novel. Namun dia terkejut melihat hasilnya, karena sepanjang 2009 ia telah merampungkan hampir 3 judul novel. “Ini lompatan luar biasa dalam hidup saya. Saya tidak menyangka akan seproduktif ini menulis, yang tidak pernah saya lakukan sebelumnya. Tapi semua ini terjadi, juga karena selama puluhan tahun saya membaca,” kata Irzen Hawer. * * * Lumrahnya, manusia diciptakan Tuhan berbekal dua mata satu mulut. Ini artinya manusia disuruh banyak membaca dan sedikit bicara. Ya, membaca apa saja. Tidak hanya yang tersurat tapi juga yang tersirat. Ayat pertama Alquran yang diturunkan Tuhan juga perintah membaca, iqra’. Proses membaca inilah yang mengantarkan seseorang nantinya pada kemampuan menulis yang menciptakan karya di kemudian hari. Negara-negara maju di dunia berkomitmen dengan hal ini, minat baca menumbuhkan harga diri bangsa mereka. Jepang, misalnya. Ketika kota Hiroshima dan Nagasaki hancur lebur dihantam bom atom Amerika dan sekutu dalam perang dunia, tapi dalam waktu singkat Jepang dapat bangkit dan bergerak, bahkan sekarang menguasai sebagian besar perekonomian dunia. Kenapa Jepang bisa demikian? Tidak lain karena budaya masyarakat Jepang adalah budaya membaca sehingga mereka menjadi bangsa yang cerdas dan menguasai teknologi tingkat tinggi. Bagaimana dengan Indonesia? Tentu jauh panggang dari api. Budaya membaca masyarakat Indonesia masih sangat rendah. Sehingga setelah puluhan tahun merdeka Indonesia masih tertinggal dari negara-negara lain di Asia Tenggara. Bumi Indonesia yang kaya sumber daya alam tidak tergarap maksimal. Bagaimana mau menggarap jika ilmu pengetahuan tidak punya. Akibatnya banyak orang asing mengeksploitasi sumber kekayaan alam Indonesia. Bahkan karena kebodohan masyarakat Indonesia pula, selama ratusan tahun bangsa ini dijajah oleh kolonial Belanda. Tentu sejarah kelam ini menjadi pengalaman buruk bangsa Indonesia yang tidak kita inginkan berulang. Sebenarnya ada cara mudah menumbuhkan semangat membaca dan menulis di tengah masyarakat Indonesia khususnya di kalangan generasi muda, yaitu memulainya dengan membaca buku-buku sastra. Inilah yang menjadi poin penting perhatian Penyair Taufiq Ismail dengan membangun Rumah Puisi di Nagari Aie Angek, Kecamatan X Koto, Kabupaten Tanah Datar (sekitar 6 km dari Padang Panjang atau 9 km dari Bukittinggi). Rumah Puisi didedikasikan sepenuhnya untuk masyarakat Sumatera Barat guna peningkatan budaya baca buku dan kemampuan menulis. Taufiq Ismail ingin membangkit batang tarandam bahwa Sumatera Barat sejak lama adalah gudangnya penulis. Menurut Taufiq Ismail yang disampaikannya kepada penulis, kemampuan membaca buku dalam bidang apapun, secara awal harus ditumbuhkan melalui kecintaan membaca karya sastra. Demikianlah pembibitan awal kebiasaan membaca dilakukan di seluruh dunia yang beradab. Sebab, latihan menulis yang terus menerus dapat mengantarkan siswa menulis karya sastra, kalau dia berminat, tetapi kalau tidak, dia akan memiliki kemampuan menulis secara umum. Dia akan menjadi insan yang cinta sampai adiksi buku, merasa perpustakaan sebagai rumahnya yang kedua, dan mampu menulis dalam bidang profesinya masing-masing. “Bila kelak dia menjadi arsitek, pelaku bisnis, guru, spesialis bedah, kepala direktorat, pakar agronomi, komandan resimen, wartawan, pilot antar benua, ibu rumah tangga, dan seterusnya, maka dia adalah profesional yang rujukan utamanya buku bacaan dan mampu menulis dalam spesialisnya masing-masing,” kata Taufiq Ismail. Namun persoalan lain menjadi momok menakutkan bahwa wajib baca buku sastra di sekolah “dipotong” lantaran kebijakan pemerintah yang salah urus sejak puluhan tahun silam. Akibatnya, budaya membaca yang telah luntur di tengah masyarakat Indonesia semakin buruk dan terpuruk. Taufiq Ismail mengistilahkan tragedi itu sebagai “anak bangsa yang rabun membaca dan pincang menulis”. Dalam pidato Penganugerahan Gelar Kehormatan Doctor Honoris Causa di Bidang Pendidikan Sastra Taufiq Ismail yang dibacakannya di depan Rapat Terbuka Senat Universitas Negeri Yogyakarta, Sabtu, 8 Februari 2003, dia menyebutkan, di sekitar tahun 1995, diskusi-diskusi redaksi Majalah Sastra Horison menyusun peta persoalan sastra di Indonesia, yang berkembang terus, sehingga awalnya dari 14 butir menjadi 35 butir masalah. Beberapa butir-butir masalah tersebut adalah: merosotnya minat masyarakat membaca karya sastra, rendahnya tiras buku sastra, susutnya mutu karya sastra, sepinya ulasan dan kritik sastra, kurang menariknya jumlah pengulas dan kritikus sastra, masih adanya pelarangan karya sastra, sedikitnya jumlah sastrawan, susahnya menarik minat calon mahasiswa untuk studi sastra Indonesia di perguruan tinggi, luar biasa susahnya memikat minat calon mahasiswa untuk studi bahasa dan sastra daerah, seretnya pertambahan S-3 ilmu sastra dibandingkan dengan S-3 ilmu eksakta/sains dan ilmu ekonomi/sosial, cuma satu-satunya majalah bulanan sastra, lambatnya proses desentralisasi kegiatan sastra, sangat kurangnya diselenggarakan sayembara penulisan sastra, sangat sedikitnya diadakannya bengkel kerja bagi sastrawan muda, sangat terbatasnya sastrawan yang bersedia membimbing peminat dalam sanggar sastra, tak ada acara tetap sastrawan diundang mendatangi kampus untuk membicarakan/dibicarakan karyanya, tak ada program berkesinambungan sastrawan datang ke sekolah memperkenalkan sastra, sastrawan kurang peduli/tidak dilibatkan dalam penyusunan kurikulum sastra di sekolah, jarangnya penghargaan pada karya sastra dan sastrawannya, sunyi dan lesunya lalu lintas pikiran di antara kalangan sastra. Selain itu, anemisnya ide atau tema berikut penggarapannya di dalam karya-karya sastra, sedikit sekali dikenalnya sastra Indonesia di luar negeri melalui terjemahan bahasa asing, kurangnya perhatian pada karya sastra Melayu klasik-sastra daerah klasik-dan karya sastra daerah kontemporer, lemahnya sastrawan Indonesia dalam berorganisasi, terbatasnya minat televisi menggunakan karya sastra sebagai bahan pembuatan sinetronnya, tidak adanya acara sastra dan pembicaraan buku sastra di media elektronik, dan merosotnya wajib baca buku sastra, bimbingan mengarang dan pengajaran sastra di sekolah. Gejala yang diungkapkan itu, sudah mirip epidemi yang tak kunjung jelas diagnosanya. Bila ditelusuri penyebabnya, maka salah satu etiologi utamanya diperkirakan adalah butir terakhir dari keseluruhan permasalahan yang terjadi, yaitu merosotnya wajib baca buku sastra, bimbingan mengarang dan pengajaran sastra di sekolah. Menurut Taufiq Ismail lagi, sudah sedemikian lama tergusurnya ke pinggir pengajaran sastra di SMA kita oleh pengajaran tata-bahasa, dengan perbandingan 10-20% berbanding 90-80%. Sudah demikian lama kewajiban membaca buku sastra terperosok dari 25 buku dalam 3 tahun di Algemeene Middelbare School (AMS) Hindia Belanda menjadi 0 buku dalam 3 tahun di SMA kini. Sedemikian lama pula kewajiban mengarang dari 36 pertemuan setahun di AMS (diperkirakan) menjadi 6 pertemuan setahun di SMA kini. Untuk itu, melalui sekolah, siswa harus diajak menikmati karya sastra. Baru kemudian bacaan sastra itu akan menumbuhkan kearifan siswa kepada manusia dan kehidupan, mengasah sensitivitas estetiknya, memupuk empati pada duka-derita orang-orang yang malang dan menyerap nilai-nilai luhur kemanusiaan (seperti keimanan, kejujuran, ketertiban, tanggung jawab, dan lainnya). Disinilah guru berperan sangat penting dalam interaksi antara bacaan sastra itu dengan siswa. * * * Belajar dari Rumah Puisi yang dibangun Taufiq Ismail adalah semacam motivasi penting yang harus ditumbuhkan di kalangan generasi muda, khususnya di Sumatera Barat. Semangat membudayakan membaca dan menulis ada di rumah ini, dan gaungnya semakin meluas ke seantero negeri. Rumah Puisi tumbuh dari pengalaman kolektif Taufiq Ismail bersama tim redaktur Horison dan sastrawan se Indonesia dalam 10 program gerakan membawa sastra ke sekolah, sejak 1998 hingga 2008. Melatih sekitar 2.000 guru dalam program MMAS (Membaca, Menulis dan Apresiasi Sastra) 6 hari di 11 kota; dengan tim 113 sastrawan dan 11 aktor-aktris masuk ke 213 SMA membacakan karya sastra dan bertanya jawab dengan siswa dan guru di 164 kota yang terletak di 31 provinsi dalam kegiatan SBSB (Sastrawan Bicara Siswa Bertanya), menyalurkan tulisan siswa dan guru dalam sisipan Kakilangit selama 11 tahun dalam majalah sastra Horison, menerbitkan 8 antologi puisi, cerpen, fragmen novel dan drama serta esai (tiras total 37.000 eksemplar, tebal 2.280.120 halaman) yang dikirimkan ke 4.500 perpustakaan SMA negeri dan swasta (2000-2004), membentuk 30 sanggar sastra siswa di seluruh Indonesia, adalah antara lain gugusan program tersebut yang sudah dilaksanakan. Tujuan gerakan ini adalah meningkatkan budaya baca buku dan kemampuan menulis anak bangsa, kata Taufiq Ismail. Nama Rumah Puisi, tidak bermakna bahwa kegiatannya semata-mata berkaitan dengan persajakan saja. Dia merangkum seluruh aktivitas yang bersangkutan dengan literatur dan literasi, karya sastra, pembacaan dan latihan penulisannya, dengan warna keindahan puitik sebagai intinya. Sesungguhnya seluruh karya sastra, yaitu sajak, cerita pendek, novel, drama, dan esai—semuanya pasti memiliki keindahan puitiknya masing-masing yang khas. Demikianlah istilah puisi menjadi kata sifat bersama dan payung dari seluruh karya sastra. Mulai April 2010 mendatang Rumah Puisi menggelar kegiatan pelatihan guru Bahasa dan Sastra Indonesia SMA se Sumatera Barat selama enam hari yang dibagi jadualnya antar kabupaten/kota yang diundang. Saat ini di areal Rumah Puisi sedang dibangun gedung pertemuan serta penginapan berjumlah 42 kamar. Penginapan ini dianggap penting mengingat cost yang akan sangat besar jika guru-guru yang dilatih itu nanti harus diinapkan di Padang Panjang maupun di Bukittinggi. Guru Bahasa dan Sastra Indonesia SMA se Sumatera Barat adalah awal pelatihan yang diprogram Rumah Puisi, mengingat strategisnya peran mereka dalam mendidik generasi muda yang akan beranjak ke jenjang perguruan tinggi. Guru-guru yang dilatih itu nantinya diharapkan dapat memberikan warna baru tentang pengajaran sastra di ruang kelas mereka. Pengajaran sastra yang selama ini mungkin saja dianggap siswa sebagai pelajaran yang membosankan, maka setelah guru mengikuti pelatihan di Rumah Puisi pandangan itu akan dapat dirobah. Pengajaran sastra menjadi sesuatu yang asyik, menyenangkan, dan selalu dinanti-nanti para siswa. Kita sepakat bahwa budaya membaca dan menulis harus ditumbuhkan sejak dini di hati generasi muda kita. Dengan membaca jendela dunia akan terbuka, ilmu pengetahuan bertambah, dan kearifan muncul sehingga menciptakan kebijaksanaan dalam bersikap dan berbuat. Dan yang terpenting, proses membaca akan melahirkan karya tulis yang berguna untuk membangun peradaban bangsa Indonesia yang lebih baik. Harga diri bangsa lahir dari minat baca. []
[caption id="attachment_138871" align="aligncenter" width="359" caption="Jajang C. Noer (kiri), artis film dan aktivis teater nasional dalam suatu kegiatan sastra di Rumah Puisi."][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H