Penulis Dr H. Muhammad Soleh Hapudin, M.Si (Ketua Forum Silaturahmi Doktor Indonesia (FORSILADI) Provinsi Banten/ Dosen Universitas Esa Unggul
Era digital telah membawa perub ahan besar dalam kehidupan manusia, mentransformasi cara kita berkomunikasi, bekerja, belajar, dan bersosialisasi. Teknologi informasi dan komunikasi (TIK) telah menjadi bagian integral dari kehidupan modern, menawarkan akses instan ke informasi, hiburan, dan koneksi global. Namun, di balik gelimang manfaat teknologi, muncul fenomena yang mengkhawatirkan, yaitu nomophobia. Nomophobia, kependekan dari no mobile phone phobia, adalah rasa cemas, ketakutan, dan ketidaknyamanan yang berlebihan ketika seseorang tidak memiliki akses ke ponsel pintar atau terputus dari koneksi internet
Dalam era digital yang semakin maju dan terhubung dengan teknologi, fenomena nomophobia telah menjadi fokus perhatian sebagai patologi sosial yang mengkhawatirkan. Nomophobia, yang merupakan singkatan dari "no-mobile-phone phobia", adalah kondisi psikologis yang muncul akibat ketakutan berlebihan atau kecemasan yang dialami seseorang ketika terpisah dari atau tidak dapat menggunakan ponsel atau smartphone mereka. Orang yang mengalami nomophobia merasa gelisah, cemas, atau tidak nyaman ketika tidak memiliki akses ke ponsel mereka, terutama dalam situasi di mana mereka merasa terputus dari komunikasi, informasi, atau konektivitas yang dimiliki melalui perangkat tersebut.
Salah satu dampak utama dari nomophobia adalah gangguan kesejahteraan mental individu. Ketika seseorang terlalu bergantung pada ponsel mereka untuk berkomunikasi, mengakses informasi, atau hiburan, ketiadaan ponsel dapat menyebabkan perasaan cemas, gelisah, atau bahkan depresi. Ketergantungan emosional pada ponsel juga dapat mengganggu tidur, mempengaruhi produktivitas, dan meningkatkan risiko gangguan kecanduan digital.
Selain itu, nomophobia juga dapat merusak hubungan interpersonal dan komunikasi antar individu. Ketergantungan pada ponsel dapat membuat seseorang lebih tertarik pada dunia digital daripada interaksi sosial langsung, yang berpotensi mengurangi kualitas hubungan personal dan kerentanan terhadap isolasi sosial. Kurangnya kemampuan untuk hidup tanpa ponsel juga dapat menciptakan ketidakseimbangan antara kehidupan online dan offline, serta melemahkan kemampuan individu untuk mengelola stres atau kesulitan tanpa tergantung pada teknologi. Gejala nomophobia dapat mencakup kegelisahan berlebihan, ketegangan, ketergantungan emosional pada ponsel, dan ketidakmampuan untuk berpindah dari perangkat digital. Hal ini sering kali disebabkan oleh ketergantungan pada ponsel untuk berkomunikasi, akses informasi, media sosial, atau hiburan.
Dalam konteks patologi sosial, nomophobia juga mencerminkan perubahan nilai dan norma sosial dalam masyarakat yang semakin terhubung secara digital. Kecenderungan untuk terus menerus terhubung ke ponsel dan media sosial, tanpa jeda atau batasan yang sehat, menciptakan pola perilaku yang tidak seimbang dan merugikan. Hal ini dapat mengakibatkan alienasi, peningkatan konflik sosial, dan ketidaktoleranan terhadap perbedaan pendapat atau pandangan.
Dengan demikian, kajian analisis tentang nomophobia sebagai patologi sosial di era digital menyoroti perlunya kesadaran dan tindakan preventif untuk mengatasi dampak negatif yang ditimbulkannya. Pendidikan dan kesadaran tentang penggunaan yang sehat dan bertanggung jawab terhadap teknologi, dukungan emosional dan psikologis bagi individu yang mengalami kecemasan terkait ponsel, serta regulasi terhadap penggunaan teknologi oleh lembaga masyarakat dapat menjadi langkah-langkah penting dalam mengatasi tantangan nomophobia di era digital yang terus berkembang. Dengan demikian, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih sehat, berkelanjutan, dan berempati dalam era digital yang penuh dengan tantangan bar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H