Penulis : Dr H. Muhammad Soleh Hapudin, M.Si ( Ketua DPW Forum Silaturahmi Doktor Indonesia (FORSILADI) Provinsi Banten
Pendidikan merupakan salah satu hak asasi manusia yang fundamental bagi setiap individu. Melalui pendidikan, anak-anak dapat mengembangkan potensi diri, memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk menjadi anggota masyarakat yang produktif. Sayangnya, tidak semua anak memiliki kesempatan yang sama untuk mengakses dan menjalani pendidikan dengan baik. Salah satu faktor yang dapat menghambat kesiapan anak memasuki pendidikan adalah kondisi stunting.
Stunting merupakan kondisi di mana anak-anak memiliki tinggi badan yang terlalu rendah untuk usianya, yang disebabkan oleh kekurangan gizi dalam jangka waktu lama. Masalah ini tidak hanya berdampak pada kesehatan anak-anak saat ini, tetapi juga dapat mempengaruhi perkembangan fisik dan mental mereka di masa depan. Dengan memahami penyebab dan memenuhi kebutuhan gizi yang cukup dan seimbang, Indonesia memiliki kesempatan untuk menciptakan "Generasi Emas" pada tahun 2045, generasi yang sehat, cerdas, dan produktif.
Isu stunting telah menjadi perhatian besar bagi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. . Anak-anak yang mengalami stunting tidak hanya memiliki keterbatasan fisik, tetapi juga dapat mengalami hambatan perkembangan kognitif, motorik, dan sosial-emosional. Memahami dan mengatasi isu stunting sangat penting, tidak hanya untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan anak-anak, tetapi juga untuk mewujudkan generasi yang cerdas dan produktif. Dengan memberikan asupan gizi yang mencukupi dan seimbang, kita dapat memastikan anak-anak tumbuh dan berkembang secara optimal, sehingga dapat berkontribusi pada pembangunan bangsa di masa depan.
Memahami dampak stunting terhadap kesiapan anak memasuki pendidikan menjadi penting, terutama untuk merancang intervensi yang tepat guna meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia di masa mendatang.. Anak-anak yang mengalami stunting cenderung antara lain : Pertama, Keterbatasan fisik: Anak-anak stunting biasanya memiliki tinggi badan yang lebih rendah dari anak-anak seusianya. Kedua, Perkembangan kognitif yang terhambat: Stunting dapat memengaruhi perkembangan otak anak-anak, sehingga mereka cenderung mengalami kesulitan dalam belajar, memecahkan masalah, dan mengembangkan kemampuan berpikir kritis. Ketiga, Hambatan perkembangan sosial-emosional:Â Stunting dapat memengaruhi kepercayaan diri dan interaksi sosial anak-anak, sehingga dapat berdampak pada perkembangan emosional dan sosial mereka.
Anak-anak yang mengalami stunting cenderung memiliki produktivitas yang lebih rendah di kemudian hari, sehingga dapat menghambat pembangunan ekonomi dan sosial suatu negara. Oleh karena itu, mengatasi isu stunting merupakan upaya yang sangat penting bagi Indonesia dalam mewujudkan generasi yang sehat, cerdas, dan produktif. Dengan memahami penyebab dan dampak stunting, kita dapat mengembangkan strategi yang komprehensif untuk mengatasinya.
Upaya-upaya komprehensif perlu dilakukan untuk mengatasi masalah stunting dan meningkatkan kesiapan anak stunting memasuki pendidikan formal. Intervensi harus dimulai sedini mungkin, terutama pada 1.000 hari pertama kehidupan anak, melalui perbaikan asupan gizi seimbang dan stimulasi dini. Pemberian suplementasi gizi mikro juga terbukti efektif untuk mengatasi masalah perkembangan fisik dan kognitif anak stunting.
Mengingat dampak stunting yang begitu luas terhadap kesiapan anak memasuki pendidikan formal, diperlukan upaya-upaya komprehensif untuk mendukung anak-anak stunting agar dapat beradaptasi dan mengikuti pembelajaran di sekolah dengan baik. Beberapa intervensi yang dapat dilakukan antara lain: Pertama,  Intervensi Gizi Sejak Dini Intervensi gizi yang dilakukan sejak masa kehamilan dan 1.000 hari pertama kehidupan anak merupakan langkah strategis untuk mencegah dan mengatasi stunting. Kedua,Dini dan Intervensi Terpadu Selain upaya preventif, diperlukan juga sistem deteksi dini dan intervensi terpadu bagi anak-anak yang telah mengalami stunting. Hal ini dapat dilakukan melalui kolaborasi antara sektor kesehatan dan pendidikan. .Ketiga, Keterlibatan Orang Tua dan Masyarakat Upaya meningkatkan kesiapan anak stunting memasuki pendidikan formal tidak dapat dilakukan hanya oleh pihak sekolah. Keterlibatan orang tua dan masyarakat sekitar juga sangat diperlukan.
Selain itu, peran keluarga dan masyarakat juga sangat penting dalam mendukung tumbuh kembang anak stunting. Orang tua perlu diberikan edukasi tentang pentingnya gizi seimbang dan stimulasi dini. Kerjasama antara sekolah dan keluarga juga diperlukan untuk memantau perkembangan anak dan memberikan intervensi yang tepat.
Di level sekolah, guru-guru juga perlu dibekali dengan kemampuan untuk mendeteksi dan menangani masalah stunting pada anak didiknya. Pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan anak-anak stunting dapat membantu meningkatkan kesiapan mereka dalam mengikuti proses belajar di sekolah. Upaya-upaya tersebut diharapkan dapat membantu meningkatkan kesiapan anak stunting untuk mengikuti pendidikan formal secara optimal. Dengan demikian, mereka dapat memaksimalkan potensi dirinya dan berkontribusi secara optimal bagi pembangunan Indonesia di masa depan.
Mengikis generasi stunting dan menciptakan Generasi Emas pada tahun 2045 merupakan tantangan besar bagi Indonesia. Namun, dengan pemahaman yang mendalam tentang kebutuhan gizi yang cukup dan seimbang, serta kolaborasi yang solid antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat, Indonesia memiliki peluang besar untuk mewujudkan generasi yang sehat, cerdas, dan produktif. Upaya ini tidak hanya berdampak pada kesejahteraan individu, tetapi juga pada kemajuan dan daya saing bangsa di masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H