Mohon tunggu...
Muhammad Solahudin Addafaa
Muhammad Solahudin Addafaa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa- Mahasantri Ilmu Al-Qur'an & Tafsir

Tetap Semangat Meskipun Lelah!!

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pemberdayaan Masyarakat

29 Juni 2024   11:21 Diperbarui: 29 Juni 2024   11:36 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Definisi masyarakat banyak sekali dikemukakan oleh berbagai pakar ilmu kemasyarakatan dan kebudayaan. Sebagian pendapat dari para pakar ilmu kemasyarakatan dalam mendefinisikan masyarakat adalah sejumlah penduduk ataupun kelompok manusia, baik itu dalam sircle masyarakat perkotaan maupun masyarakat pedesaan yang saling berinteraksi satu sama lain sesuai dengan kebutuhannya masing-masing untuk menciptakan kesejahteraan dan kedamaian di sekitar lingkungannya sendiri. Setiap masyarakat tentu memiliki kebudayaan ataupun adat istiadat yang berbeda agar terlihat mempesona dan tampak indah dalam setiap wilayah yang mereka singgahi. ( John. J. Marcionis. 1997).

Berdasarkan pernyataan yang telah dipaparkan oleh sebagaian para ahli  di atas, dapat penulis simpulkan, bahwasanya masyarakat adalah sekelompok individu yang memiliki kepentingan bersama dan memiliki budaya serta lembaga atau perkumpulan yang khas sehingga setiap perkumpulan itu tentu memiliki nilai kebersamaan, kebudayaan, serta tujuan yang sama “Kedamaian & Kesejahteraan”. Definisi masyarakat menurut Lintonn adalah sekelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama antara yang satu dengan yang lainnya sehingga terbentuk sebuah organisasi yang mengatur setiap individu dalam masyarakat dapat mengatur dirinya sendiri dan berpikir tentang dirinya sebagai satu kesatuan sosial dengan batasan tertentu.

Keberdayaan masyarakat dapat diwujudkan melalui partisipasi aktif masyarakat yang difasilitasi dengan adanya pelaku pemberdayaan. Sasaran utama pemberdayaan masyarakat adalah mereka yang lemah dan tidak memiliki daya, kekuatan atau kemampuan mengakses sumberdaya produktif atau masyarakat yang terpinggirkan dalam pembangunan. Tujuan akhir dari proses pemberdayaan masyarakat adalah untuk memandirikan warga masyarakat agar dapat meningkatkan taraf hidup keluarga dan mengoptimalkan sumberdaya yang dimilikinya. Secara sosial, masyarakat sekitar kawasan hutan lindung sampai saat ini tetap teridentifikasi sebagai masyarakat marginal (terpinggirkan) dan tidak memiliki daya, kekuatan, dan kemampuan yang dapat diandalkan serta tidak memiliki modal yang memadai untuk bersaing dengan masyarakat kapitalis atau masyarakat pengusaha yang secara sosial dan politik memiliki daya, kekuatan, dan kemampuan yang memadai. Ketidakberdayaan masyarakat secara sosial dan ekonomi menjadi salah satu ganjalan bagi masyarakat untuk berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan sesama saudaranya yang telah berhasil. Kondisi inilah yang perlu dipahami dan dijadikan salah satu pertimbangan dalam pengambilan kebijakan dan perencanaan penyusunan program, agar setiap kebijakan dan program tentang pengaturan pengelolaan hutan yang diambil tetap memperhatikan kondisi sosial budaya dan ekonomi masyarakat sekitar kawasan hutan lindung.

Paradigma perencanaan pengelolaan hutan dan pemberdayaan masyarakat yang sentralistik dimana program dirancang dari atas tanpa melibatkan masyarakat, harus diubah kearah peningkatan partisipasi masyarakat lokal secara optimal. Pemberdayaan dapat diartikan sebagai suatu pelimpahan atau pemberian kekuatan (power) yang akan menghasilkan hierarki kekuatan dan ketiadaan kekuatan, seperti yang dikemukakan Simon (1993) bahwa pemberdayaan merupakan suatu aktvitas refleksi, suatu proses yang mampu diinisiasikan dan dipertahankan hanya oleh agen atau subyek yang mencari kekuatan atau penentuan diri sendiri (self-determination). Sulistiyani (2004) menjelaskan lebih rinci bahwa secara etimologis pemberdayaan berasal dari kata dasar "daya" yang berarti kekuatan atau kemampuan. Bertolak dari pengertian tersebut, maka pemberdayaan dimaknai sebagai proses untuk memperoleh daya, kekuatan atau kemampuan, dan atau proses pemberian daya, kekuatan atau kemampuan dari pihak yang memiliki daya kepada pihak yang kurang atau belum berdaya. Berdasarkan beberapa pengertian pemberdayaan yang dikemukakan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pada hakekatnya pemberdayaan adalah suatu proses dan upaya untuk memperoleh atau memberikan daya, kekuatan atau kemampuan kepada individu dan masyarakat lemah agar dapat mengidentifikasi, menganalisis, menetapkan kebutuhan dan potensi serta masalah yang dihadapi dan sekaligus memilih alternatif pemecahannya dengan mengoptimalkan sumber daya dan potensi yang dimiliki secara mandiri. Pranarka dan Vidhyandika (1996) menjelaskan bahwa proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan.

Pada era reformasi saat ini, tuntutan terhadap pelaku pemberdayaan yang memiliki kemampuan yang memadai semakin menguat. Pelaku pemberdayaan tidak hanya dituntut untuk memperkaya pengetahuannya, melainkan mereka dituntut meningkatkan keterampilannya dalam mendesain program pemberdayaan. Lantas muncul pertanyaan, kemampuan seperti apa yang harus dimiliki oleh pelaku pemberdayaan?. Huseini (1999) menjelaskan bahwa modal manusia merupakan refleksi dari pendidikan, pengalaman, intuisi dan keahlian. Era globalisasi yang menuntut perhatian terhadap modal manusia semakin tinggi, terkait dengan perkembangan dalam ilmu ekonomi pembangunan dan sosiologi.

Para ahli kedua bidang tersebut umumnya sepakat pada satu hal, yakni modal manusia berperan secara signifikan, bahkan lebih penting daripada faktor teknologi, dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Modal manusia (human capital) tersebut tidak hanya menyangkut kuantitas tetapi juga kualitas. Lalu muncul pertanyaan, apa ukuran yang menentukan kualitas manusia?. Berdasarkan beberapa definisi modal manusia yang telah diuraikan, maka dapat disimpulkan bahwa modal manusia (human capital) adalah suatu aset yang berhubungan dengan intelektualitas dan kondisi seseorang yang diperoleh melalui pendidikan formal dan nonformal yang didukung oleh kesehatan jasmani dan rohani yang prima dan kemampuan melakukan hubungan/interaksi antarsesama secara baik, menguntungkan, dan berkelanjutan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun