Mohon tunggu...
Muhammad Sidik
Muhammad Sidik Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa pendidikan ilmu pengetahuan sosial

hobi saya berolahraga

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Teori Kongnitif, Metakonitif, dan Pendekatan Kontruktivisme

7 November 2024   22:01 Diperbarui: 7 November 2024   22:02 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Teori belajar dalam psikologi kognitif menekankan bahwa proses belajar merupakan kegiatan aktif di mana siswa membangun pemahaman melalui keterlibatan mental yang kompleks, seperti observasi dan pemecahan masalah, serta mengaitkan pengetahuan baru dengan pengalaman yang sudah ada. Kurt Lewin berpendapat bahwa belajar adalah interaksi antara individu dan lingkungannya, melibatkan aspek psikologis seperti persepsi, emosi, dan motivasi, yang menunjukkan bahwa proses belajar bersifat dinamis dan saling terkait.

Jean Piaget mengidentifikasi empat tahap perkembangan kognitif: Sensorimotorik (belajar melalui pengalaman fisik), Praoperasional (berpikir simbolis), Operasional Konkret (berpikir logis terhadap objek konkret), dan Operasional Formal (berpikir abstrak). Jerome Bruner, di sisi lain, menekankan pembelajaran melalui penemuan mandiri dan memperkenalkan tiga tahap perkembangan: enaktif (melalui pengalaman langsung), ikonik (melalui gambar atau representasi visual), dan simbolik (menggunakan simbol abstrak). Bruner mengadvokasi pembelajaran berpusat pada siswa, di mana siswa secara aktif membangun pengetahuan mereka sendiri.

Teori kognitif ini menyoroti pentingnya peran aktif siswa dalam membangun pengetahuan, memanfaatkan pengalaman sebelumnya, serta mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi seperti analisis dan evaluasi. Guru berperan sebagai fasilitator yang menyediakan lingkungan belajar kondusif. Fokus utamanya adalah pada pengembangan pemahaman konseptual siswa, bukan sekadar hafalan.

Menurut konstruktivisme Vygotsky, pengetahuan dibentuk melalui pengalaman individu, namun dipengaruhi oleh interaksi sosial dan budaya. Pembelajaran yang efektif terjadi melalui kolaborasi dan bimbingan dari orang yang lebih ahli, dengan bahasa sebagai alat penting untuk berpikir. Dalam konsep Zone of Proximal Development (ZPD), pendidik berperan sebagai mediator yang memberikan dukungan hingga siswa mampu belajar secara mandiri.

Model konstruktivisme dari Tytler menekankan pentingnya memberi siswa kesempatan untuk mengungkapkan ide, merefleksikan pengalaman, dan mencoba gagasan baru untuk meningkatkan kreativitas serta memperoleh pengalaman yang relevan. Model ini mengajak siswa untuk merenungkan perubahan gagasan mereka dan menciptakan lingkungan belajar yang kondusif. Pengetahuan dibangun melalui interaksi aktif dengan lingkungan yang didukung oleh konteks sosial, budaya, pengalaman pribadi, bahasa, serta motivasi dan emosi.

Dalam konteks kognitif, kemampuan berpikir dan memahami informasi merupakan proses mental penting dalam belajar, melibatkan fungsi otak seperti persepsi dan pemecahan masalah. Piaget menjelaskan perkembangan kognitif dalam empat tahap: sensorimotorik (0-2 tahun) yang berfokus pada pengalaman langsung melalui indra, praoperasional (2-7 tahun) dengan kemampuan berpikir simbolis, operasional konkret (7-11 tahun) dengan kemampuan berpikir logis terhadap objek konkret, dan operasional formal (11 tahun ke atas) dengan kemampuan berpikir abstrak.

Secara keseluruhan, teori kognitif memandang belajar sebagai proses aktif di mana siswa membangun pengetahuan melalui pengalaman dan interaksi sosial. Lewin melihat belajar sebagai perubahan psikologis; Piaget menguraikannya dalam empat tahap perkembangan; Bruner menekankan pada penemuan mandiri; dan Vygotsky menggarisbawahi peran interaksi sosial dan ZPD. Pendekatan konstruktivisme mendorong siswa untuk berpikir mandiri dalam lingkungan belajar yang mendukung.

Perkembangan kognitif dipengaruhi oleh faktor genetik, lingkungan keluarga, pendidikan, interaksi sosial, serta nutrisi dan kesehatan. Faktor genetik menentukan potensi awal, sedangkan lingkungan keluarga yang mendukung dan pendidikan formal mengembangkan kemampuan berpikir kritis. Interaksi sosial memungkinkan anak belajar dari orang lain, dan nutrisi yang baik mendukung perkembangan optimal otak.

Selain itu, faktor-faktor seperti gaya belajar, latar belakang sosial ekonomi, minat, dan motivasi juga berperan penting. Genetik menentukan potensi dasar, sedangkan akses ke sumber daya dan motivasi mempercepat pemahaman. Stimulasi dini, metode pembelajaran aktif, dan dukungan emosional membantu anak mengembangkan keterampilan kognitif yang esensial.

Kemampuan metakognitif, yakni memahami dan mengendalikan proses berpikir, meliputi perencanaan, pemantauan, dan evaluasi pembelajaran. Tujuannya adalah membentuk siswa menjadi pembelajar mandiri dan strategis, mampu memperbaiki kesalahan, memilih strategi yang efektif, sehingga hasil akademik dan kemampuan pemecahan masalah mereka meningkat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun