Mohon tunggu...
muhammad sholihin
muhammad sholihin Mohon Tunggu... -

Muhammad Sholihin, putra Minangkabau, lahir di Dharmasraya. Menekuni kepenulisan sejak berumur 17 tahun. Sekarang sudah 12 karya buku yang telah ia bidani dan puluhan esai tersebar di media massa lokal dan nasional, seperti Suara Karya. Antolog cerpen bersamanya bersama Dewi "Dee" Lestari, dkk, diterbitkan oleh Pustaka Fahima, dengan judul sebilah sayap bidadari. Karyanya dapat dilacak pada www.ohin.f1.cc

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kawi

7 September 2010   13:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:22 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Flash Fiction

"Sudah abak bilang, jangan kau langgar aturan adat, kawin satu suku. Tapi kau bingal, malah kau lebih takut pada cintamu itu ketimbang adat. Kini lumpuh tubuhmu dimakan kawi."

"Bukan aku hendak bingal, menentang hukum adat, bak. Tapi dalam agamaku, agamamu juga, tidak ada larangan kawin satu suku. Apalagi Kayla ridha memberikan cintanya padaku." Sirun serius merespon cercah abaknya di senja yang rampun.

"Tapi, kini kau merasakan akibatnya bukan! Anakmu cacat, kepalanya berlobang, tak satu dokterpun tahu penyakitnya. Jika bukan karena kawi, lantas apa, hah?"

Sirun diam, melempar hela dalam jingga. Dalam benaknya bersigesak galau yang berwujud kemusykilan, antara percaya atau tidak bahwa hukum kawi itu ada. Meski dirinya adalah anak modernitas, tumbuh di kota, besar dari ceramah dan buku-buku, tapi ketika ia bertemu dengan, yang kata abaknya "kawi", rasionalitasnya ciut.

"Tapi mengapa anakku yang menangung kawi ini, bak? Bukankah aku dan Kayla yang kalian persoalkan, karena kami membelot dari hukum adat, kawin satu suku, lalu bergelimang kawi. Aku benar-benar tak habis pikir, Minangkabau yang kata Tan Malaka mempersendikan kekuasaan pada rasionalitas, tapi masih diserobot dogma irrasionalitas, seperti kawi yang kalian hamburkan padaku." Sirun mencoba menghantam abaknya dengan rasio yang masih tersisa, bertengger di otaknya.

"Kau ini terdidik, tapi picik dalam ke-modernan pikirmu itu. Jubah nalar itu juga yang membuat dirimu berani menelikung "tradisi" kita, untuk kawin satu suku. Kau larikan Kayla ke ujung pulau Sumatera. Kau khatami cintamu itu di bawah tangan seorang hakim, yang tak bersauh darah dengan Kayla. Jika kau cerdas, pasti kau akan merasa tak enak hati, dan nurani pun akan menolak pikiran baru, buah dari rasionalitas cinta yang kau ramu, hanya semata karena hasrat mempersunting Kayla, bunga desa Piruko, rebutan para bujang. Lantas kau beraki kepala suku Sinaro Hitam, emakmu!" Makdo Ham, abak Sirun menjambaki kalimat Sirun, hingga luruh menyatu dengan debu yang berpusar dalam jelaga angin puyuh, seperti juga Sirun, diam tak bergutik menukas kalimat abaknya. Seperti sore yang terkatup malam, buyar dalam jelaga kelam. Gundah tersisa di dadanya, tak tahu sampai kapan tuntas dan pupus.[]

Sumber:
http://flashfiction.ubudwritersfestival.com/2010/08/kawi/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun