Mohon tunggu...
Muhammad ShivaAli
Muhammad ShivaAli Mohon Tunggu... Mahasiswa - Tukang Analisis

Suka ngoprek masalah procurement alutsista dan tukang analisis kebijakan pemerintah baik dari sisi politik, ekonomi, hankam, dan geostrategis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kacamata Pajak Internasional dalam Industri dan Pengadaan Alutsista

10 Oktober 2021   22:21 Diperbarui: 10 Oktober 2021   22:31 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Upaya perkuatan postur pertahanan suatu negara pada umumnya berbanding lurus dengan kondisi perekonomiannya. Negara dengan ekonomi yang sedang bertumbuh biasanya ingin menjaga kepentingan ekonominya dari segala macam hambatan yang mungkin, di samping juga merupakan alat pertahanan dari kemungkinan munculnya konflik. Selain itu, unsur pertahanan merupakan bargaining chip di kancah diplomasi internasional yang memiliki daya tawar kuat. Demi melenturkan otot-otot pengaruh dan hagemoni sekaligus mempertahankan kepentingan negara, banyak negara berinvestasi di sektor pertahanan. Mulai dari riset dan pengembangan, proses manufaktur, akuisisi, serta maintenance repair and overhaul suatu sistem senjata.

Untuk memenuhi alat pertahanan yang dibutuhkan oleh lembaga pertahanan negara tidak mungkin hanya melibatkan vendor lokal sebagai pemasok utama. Karena jika ditilik lebih dalam banyak alat yang dapat dikatakan lebih canggih dan kompleks belum mampu diproduksi di dalam negeri dan bergantung pada perusahaan luar negeri untuk pemenuhannya. Adapun terkait suplai alutsista tersebut merupakan aktivitas lintas batas negara yang melibatkan transfer sumber daya lintas negara, bahkan tidak jarang prosesnya melalui lebih dari dua negara. 

Sehingga jika terjadi transfer sumber daya ke luar untuk mendapatkan akses produk tersebut juga harus memperhatikan aspek perpajakan yang terjadi. Yang mungkin jarang disorot terkait kebiasaan perkuatan unsur pertahanan suatu negara adalah aspek perpajakan yang timbul sebagai kegiatan ikutan. Pada sifatnya, aktivitas pertahanan suatu negara merupakan aktivitas yang melibatkan perusahaan multinasional yang memiliki kapitalisasi besar. Kegiatan akuisisi, tranfer of technology, transfer know how, manufacturing process, dan maintenance repair and overhaul suatu alat utama sistem persenjataan melibatkan banyak pihak.

Di dalam UU PPh (Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008) terdapat aspek perpajakan internasional yang merupakan cerminan kebijakan Pemerintah Indonesia dalam menentukan hak pemajakan objek pajak terhadap transaksi antar negara, baik yang berupa inbound transaction maupun outbound transaction. 

Selain itu, aspek internasional dapat juga dijumpai pada Pasal 4 ayat (1) UU PPh yang mana ditegaskan bahwa penghasilan yang menjadi objek PPh ini bisa berasal dari Indonesia maupun berasal dari luar Indonesia yang biasa disebut dengan prinsip worldwide income. Khusus mengantisipasi jika ada konflik antara hukum pajak domestik dengan ketentuan P3B, terdapat Pasal 32A UU PPh yang mengatur bahwa P3B berlaku sebagai perangkat hukum yang berlaku khusus (lex-spesialis). Dengan demikian, ketentuan dalam UU Pajak Penghasilan tidak berlaku jika di dalam tax treaty diatur lain.

Pertama kita akan mengulik terkait mekanisme akuisisi dan kegiatan ikutan yang terjadi dalam proses perolehan alat utama sistem persenjataan. Pada umumnya proses ini berjalan secara G to B dengan penyelenggaraan tender terbuka terhadap vendor. Namun jika dirasa produk yang akan diakuisisi merupakan barang strategis maka biasanya juga didukung oleh lobi G to G. 

Merujuk pada informasi dari website LKPP, bahwa terkait proses akuisisi yang melibatkan perusahaan luar negeri ini dapat melalui skema kerja sama usaha dengan badan usaha nasional dalam bentuk konsorsium, subkontrak, atau bentuk kerja sama lainnya. Hal ini sejalan dengan dengan ketentuan Kemenhan yang menginginkan adanya tranfer of technology dan know how kepada badan usaha nasional sebagai bentuk langkah kemandirian industri pertahanan tanah air.

Dari uraian di atas, yang menjadi pokok bahasan kali ini adalah bagaimana aspek perpajakannya. Aspek perpajakan internasional yang timbul dari transaksi pembiayaan belanja alutsista umumnya timbul karena sebagian besar sistem akuisisi alutsista kita menggunakan skema pinjaman luar negeri. Aktivitas pinjaman luar negeri untuk pemenuhan kebutuhan pertahanan dapat ditelusuri sejarahnya sejak republik ini berdiri. Bunga yang timbul dari aktivitas pembiayaan ini diatur dalam Pasal 11 Model P3B UN dan OECD.

Sepemahaman penulis, baik bunga yang timbul dari perjanjian G to G maupun B to B masih tercakup ketentuannya dalam pasal model P3B tersebut. Jadi yang pokok adalah substansi bunga yang timbul dari setiap perjanjian pembiayaan yang disediakan oleh subjek pajak luar negeri. Subjek pajak luar negeri ini dapat merupakan state owned enterprise maupun private enterprise. Hal yang sama juga dapat timbul sebagai akibat dari pembayaran karena fasilitas kredit ekspor dari negara yang produknya kita beli.

Ambil contoh akuisisi helikopter Apache oleh Indonesia dari Amerika Serikat yang ditandatangani pada 2013. Indonesia melalui kementerian pertahanan menggunakan skema Foreign Military Sales yang disediakan oleh pemerintah Amerika Serikat. Dalam hal ini maka transaksi terjadi secara G to G yang berdampak pada ringannya beban bunga, terdapat fasilitas hibah, dan lebih terjamin. 

Adapun sebenarnya juga terdapat skema melalui Direct Commercial Sales yang langsung berhubungan dengan pihak manufakturnya dan lender pemberi pinjaman yang merupakan perusahaan swasta. Tentu jika dilihat skema melalui FMS memiliki implikasi pajak yang lebih kecil karena relatif ringan, beban bunga kecil atau bahkan mendapat fasilitas dari US karena merupakan perjanjian G to G. Melalui skema FMS, Indonesia akan membayar cicilan per tahun berikut bunga kepada pemberi pinjaman. Jika mengacu pada aturan Pasal 26 UU PPh, maka tarif yang dikenakan adalah 20% sejumlah bruto. Namun jika melihat P3B Indonesia-Amerika Serikat, ditetapkan tarif maksimum 15% terhadap bunga dengan catatan jika ada beneficial owner.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun