Mohon tunggu...
Muhammad Saukani
Muhammad Saukani Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Iseng iseng nulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menyusun Puzzle Perjalanan Hidup

8 Januari 2025   19:37 Diperbarui: 8 Januari 2025   19:36 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Masa depan yang belum jelas terus menggentayangi pikiranmu, ketakutan semakin hari terkumpul dalam jiwamu. Hari demi hari kau menjumpai beragam manusia, kau sebenarnya banyak berperan dalam dirimu. Orang tidak tahu kau seperti apa rupa dalamnya, mereka hanya melihat dari bungkus kulitmu saja. Kau pada setiap tempat memainkan peran yang orang tidak mengetahui watakmu sebenarnya. Kau mengulangi hari dengan perasaan-perasaan yang tak pernah sama. Di tempat kau kerja, kau sungguh ramai berinteraksi, memperlihatkan dirimu yang bersifat ceria tak sedikitpun ada gundah di wajahmu. Diluar itu kau lebih suka menyendiri, meratapi hal-hal yang belum pasti. Mungkin mereka tak menduga jika melihat kejadian yang ketika kau tak bersama mereka. Sebelum memejamkan mata di malam hari, kau selalu meminta kepada Sang Tuhan agar hari-harimu selalu baik. Di saat tubuhmu kau rebahkan diatas kasur empuk, sebenarnya matamu masih saja terbuka, pikiranmu liar kemana-mana, mengingat-ingat yang pernah terjadi, pada cerita lamamu pernah seseorang berusaha menyelamtkanmu agar tidak bertindak bodoh dan konyol, mengingatkanmu dengan cara mendekatimu agar kau tidak mengakhiri jadwal hidupmu dengan bunuh diri, misalnya.

Kau kadangkala suka bersedih. Kadangkala juga suka bahagia. Entah warna-warni yang menghiasi hari-harimu datang dari orang atau bahkan hanya kau yang merancangnya. Tapi secara alami kesedihan itu memang datang secara tiba-tiba, seperti halnya hujan turun di tengah cuaca yang saat terang-terangnya. Mendung bukan berarti akan turun hujan, cerah bukan menjamin akan lepas dari jatuhnya air embun. Bahagia juga serupa dan sama persis, bahagia tidak pernah meminta alamat, dia akan tahu kepada siapa akan bertemu. Kebahagiaan adalah anak kelinci serdadu; menjadikan umpan yaitu makanan wortel sebagai satu-satunya sosok yang dikasihi.

Tetapi, kebahagiaan harus terus dimeriahkan sekecil apapun itu.

SEBAGAI manusia yang menginginkan hidupnya bahagia, kau mulai menyusun sebuah tulisan yang berisi kalimat-kalimat yang menggetarkan, dan kau hamparkan seluruh getaran hati itu ke dalam setiap kata dan maknanya. Kau menulis sebuah nama dara jelita. Dia adalah jelita, yang namanya sempurna dan abadi di dalam jiwa. Dia indah, bercahaya seperti mentari bersinar memancar di malam hari . Dara jelita adalah sosok perempuan yang telah sempurna berusia satu tahun bersemayam dalam hati ini. Usianya memang bisa dibilang jauh jaraknya dari usiamu, tapi tidak membuatmu menutup muka untuk bersamanya. Barangkali yang membuatmu cukup bahagia adalah dengan hadirnya dara jelita yang kau anggap baru balita, umurnya masih masuk dalam kategori bocah ingusan. Masih diajari bagaimana caranya berjalan di atas tanah, memakan nasi agar tidak tumpah ke atas lantai; memberitahunya rambu-rambu kecelakaan, ini tidak boleh dilakukan karena dapat mengakibatkan luka yang dapat membuatnya menangis selama satu jam. Dia adalah sosok perempuan yang nantinya kau rawat dengan manis, kau pelihara dengan manja, kau besarkan dengan setulus hati, hingga melahirkan bintang-bintang kecil yang akan bersinar di langit kehidupan. Kau ibaratkan guru bagi orang yang selalu membuatmu bahagia, dikala mengajarinya alif, ba' ta' pada setiap baris dalam alamat surah. Kau perhatikan bibirnya yang bergerak melafalkan surat-surat Tuhan. Sungguh bahagia menjadi sosok seorang guru bagi orang yang benar-benar kau menaruh harapan padanya. Tapi jangan pernah lengah, pada dasarnya harapan itu lebih layak diletakkan pada tempatnya, Tuhan Yang Maha segalanya.

Setelah cerita-cerita lama itu terus berputar pada poros pikiranmu, kau terdasar ternyata semua itu hanyalah ilusi, yang tidak akan pernah terjadi. Kau melihat ke sebuah jam, ternyata masih menunjukkan pukul 3 dini hari, diluar rumah cuaca dingin sekali, hujan sedikit gerimis dan seorang penjaga kampung malam hari memukul tiang listrik sebanyak tiga kali. Terdengar ditelingamu yang justru membuatmu terjaga secara tiba-tiba. Kau bangun tanpa paksaan walau alarm digawaimu belum berbunyi. Bangkit dari kasurmu menuju kamar mandi mengambil setampuk demi setampuk air untuk berwudu', kau berdiri diatas sajadah suci, menyerukan takbir di malam yang sunyi, menengadahkan tangan ke arah langit, kau berdoa agar hidupmu selalu baik baik saja sesuai jalur yang diinginkan oleh Tuhan. Ternyata belakangan ini kau rupanya semakin suka dengan rutinitas semacam ini, tak pernah alfa dalam melaksanakannya. Dan nampaknya, perlahan upaya kebiasaan itu cukup berhasil.

Setelahnya, kau masuk kedua kalinya ke dalam kamar mandi dan seperti biasanya di hari yang masih sangat pagi, kau mengguyur seluruh tubuhmu dengan air yang ada di dalam ember. Kau menggosok tubuhmu, membersihkan dari noda yang menempel, kau siram, dan mengambil handuk untuk menyingkirkan bekas air yang masih tersisa. Kau merasa nyaman setelah melakukannya dengan sempurna. Kau melihat jam, adzan subuh masih sepuluh menit lagi, sambil mennantinya berkumandang kau berniat menuntuaskan pembacaan secara intens satu cerpen dari pengarang kesukaanmu. Hari ini merupakan hari keempat kau membaca karya yang sama. Itu lagi, itu lagi. Entah berapa kali kau mengulanginya, tapi sepertinya kau tidak pernah bosan.

"Ibarat seorang Mahasiswa yang fokus terhadap jurusan-jurusannya, memperhatikan materi yang dikeluarkan dosen sedetail mungkin, tak mau luput dari penjelasannya"

Dan begitulah kebahagiaan sekecil apapun mesti dimeriahkan.

Setelah tugasmu selesai, kau memulai harimu dengan menurunkan sebuah motor ke halaman rumah, kau sela untuk memanaskannya. Sambil menunggu, kau mengambil kopi saset dan air panas, lalu meracik dan menuangkannya ke dalam gelas yang berukuran kecil. Kau duduk di atas bangku sopa dengan secangkir kopi hitam yang masih mengepulkan asap yang tipis dan membakar sebatang rokok di himpitan jarimu. Saat itulah, kau merasakan kebahagian secara sempurna. Dan sebetulnya, kau melakukan kegiatan itu secara berulang-ulang setiap pagi.

Setelah kebiasaan itu selesai kau laksanakan, kau berangkat ke tempat kerjamu. Beraktivitas yang lazim selama ini kau jalani, kau selalu bersikeras untuk menyelesaikannya. Karena kau mempunyai cita-cita yakni memiliki sebuah kebun kecil untuk kau cintai. Kau sibuk di depan leptopmu, merangkai beberapa kata untuk dijadikan materi pembahasan hari ini. Kacaunya semakin keras kau berpikir menciptakan kalimat dengan imajinasimu, justru membuatmu merasa cemas. Mengapa menulis tidak lagi membahagiakan. Bahkan, di momen tertentu kau sungguh tak lagi benar-benar berbakat di dalam bidang ini. Apa yang membuatmu menjadi orang yang tak sepandai biasanya lagi. Kau merasa lemah, kau hanya bisa menulis tentang dirimu sendiri; menyusun sejarah keseharianmu. Bersenang-senang dengan memainkan kata, tanpa peduli siapa yang sudi membacanya. Meskipun begitu, semoga kau tetap bahagia. Selalu.

Kini, waktu menunjukkan pukul sebelas malam. Sunyi sekali. Bahkan diruang-ruang kamar mu sering terdengar suara nyamuk yang membuat telinga merasa terganggu, jam dinding terasa sekali detak suaranya. Tibalah saatnya untuk merebahkan badan, memberikan hak kepada tubuhmu sebagai kodrat manusia. Besok, kau harus mengulangi hari dengan kegiatan yang sama, bertemu dengan manusia yang sama. Ini berdasarkan keinginanmu, dengan mendidik generasi menjadi berguna bagi bangsa. Walaupun untungnya hanya sekedar mencicipi, bahkan tak banyak yang dapat kau nikmati dengan sepenuhnya. Mungkin, di daftar kegiatan rutinitasmu, akan ada yang baru, yang berbeda dengan hari ini. Yang jelas, kau tak akan lepas untuk menjalaninya. Karena dengan ini, kau senantiasa dapat merayakan kehidupan, memaknainya sekecil apapun, demi menunggu jadwal kematian yang sungguh rahasia. Kau selalu berusaha mencintai takdirmu, dengan cara apapun, asalkan tidak mengakhiri hidupmu dengan cara kesedihan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun