Melawan Sunyi: Mendesak Perlindungan Perempuan dan Anak dari Tindakan Asusila
Fenomena tindakan asusila terhadap perempuan dan anak di bawah umur terus mencederai nurani bangsa. Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menunjukkan bahwa kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak mengalami peningkatan signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Kenyataan ini mencerminkan urgensi reformasi menyeluruh pada sistem perlindungan hukum dan sosial di Indonesia.
Perempuan dan anak adalah kelompok rentan yang sering kali menjadi sasaran tindakan kekerasan karena ketimpangan kuasa yang mengakar dalam budaya patriarki. Di banyak kasus, mereka terperangkap dalam siklus diam karena stigma sosial yang menuduh korban, alih-alih menuntut pertanggungjawaban pelaku. Data KemenPPPA tahun 2023 mencatat ribuan laporan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak. Namun, angka ini diyakini hanyalah puncak gunung es karena banyak korban yang enggan melapor akibat rasa takut dan tekanan sosial.
Mengapa Perlindungan Harus Diutamakan?
Anak adalah generasi penerus bangsa, sedangkan perempuan adalah tiang utama keluarga. Ketika salah satu atau keduanya menjadi korban kekerasan, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh individu, tetapi juga merembet ke keluarga dan masyarakat. Kekerasan seksual berdampak panjang, mulai dari trauma psikologis, gangguan kesehatan fisik, hingga penurunan kualitas hidup.
Sayangnya, mekanisme perlindungan yang ada saat ini belum memadai. Lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan seksual, minimnya pendampingan psikologis, dan kurangnya sosialisasi mengenai hak korban menjadi tantangan besar. Korban sering kali menghadapi reviktimisasi, yakni situasi di mana mereka dipersalahkan atau diperlakukan tidak adil selama proses hukum.
Apa yang Harus Dilakukan?
Pertama, pemerintah harus memastikan implementasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) berjalan secara efektif. Penegakan hukum harus memberikan efek jera kepada pelaku sekaligus memastikan pemulihan korban. Tidak boleh ada ruang bagi kompromi dalam upaya melindungi korban.
Kedua, perlu ada integrasi layanan terpadu yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, seperti kepolisian, lembaga sosial, lembaga bantuan hukum, serta organisasi masyarakat sipil. Layanan ini harus berorientasi pada pemulihan korban, bukan sekadar menyelesaikan kasus secara administratif.
Ketiga, pendidikan dan sosialisasi mengenai kesetaraan gender dan hak anak harus terus diperluas. Sekolah dan keluarga memainkan peran penting dalam membangun budaya hormat terhadap hak asasi manusia. Anak-anak perlu diajarkan untuk mengenali dan melindungi diri dari ancaman kekerasan.
Keempat, masyarakat harus dilibatkan secara aktif untuk membangun lingkungan yang mendukung korban agar berani bersuara. Stigma terhadap korban kekerasan harus dihapuskan. Sebaliknya, korban harus diberikan dukungan moral dan sosial untuk pulih dari trauma.