Sebanyak 53 pegawai KPK tak lolos saat mengikuti Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) dalam rangka alih status menjadi ASN (Aparatur Sipil Negara/Pegawai Negeri). Materi TWK sendiri disusun oleh BKN dengan melibatkan BIN, BAIS TNI, Pusat Intelejen TNI AD, Dinas Psikologi TNI AD dan BNPT.
Masalahnya, beberapa pertanyaan dalam paket soal TWK dinilai tidak merepresentasikan kepentingan KPK, karena dinilai nyeleneh atau mengandung nilai-nilai personal juga kontroversial. Misalnya pertanyaan tentang pacaran, apakah membaca doa qunut dalam salat subuh, hingga yang paling viral tentu saja pertanyaan pilih Pancasila atau Al-Quran.
Gerakan perlawanan terhadap BKN pun menyeruak, dari akademisi hingga politisi. Tokoh MUI, NU & Muhammadiyah pun tak absen mengkritisi polemik ini. Namun tanpa menghakimi terlalu jauh, bagaimana jika misalnya orang Madura diberi kesempatan untuk pertanyaan-pertanyaan nyeleneh ini. Begini kira-kira.
Kalau pacaran, ngapain aja?
Ya pacaran, dan saling perhatian lebih serius, mungkin telponan, atau lebih sering jalan-jalan. Tapi jalannya gak akan jauh, (pacaran bagi masyarakat Madura memiliki arti negatif), baru nanti kalau sudah bertunangan, setelah dapat ijin dari kedua orang tua kami (masing-masing), baru bisa ketemu lebih sering.
Kenapa umur 30 belum menikah?
Tidak ada standar pakem tentang usia menikah, meskipun kebanyakan kami (masyarakat Madura) menikah di usia sebelum 30 tahun, menikah adalah acara sekaligus upacara yang sangat kami sakralkan. Sebisa mungkin menikah itu hanya sekali, dan sebisa mungkin acara pernikahan itu meriah sekali.
Kalau kamu jadi istri kedua saya, gimana?
Maaf saya tidak bisa. Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, sebisa mungkin sekali saja seumur hidup. Jangan lihat banyaknya angka poligami di Madura. Mereka (pelaku poligami) itu terpaksa (dengan alasan seribu banyaknya dan tidak bisa disebut disini). Saya kira tidak ada wanita yang benar-benar mau dimadu, semua wanita ingin diistimewakan, dijadikan satu-satunya.
Mau terima donor darah dari agama lain apa tidak?
Kenapa tidak, kami ini dari kecil diajari beragama dengan baik dan benar. Bahkan, ritual-ritual keagamaan (islam) pun telah menjadi ritual-ritual adat istiadat kami di Madura (tahlilan, perayaan maulid nabi, tasyakuran dan lain-lain telah menjadi budaya, sekalipun dalam beribadah tidak begitu baik, namun kegiatan keagamaan seperti yang disebutkan sudah menjadi kebiasaan dan budaya di masyarakat Madura). Begitu pula tentang donor darah, tidak ada ajaran agama yang melarang berbagi darah (donor) dengan pribadi-pribadi beda agama. Jadi tidak pernah menjadi masalah apakah kami memberi atau menerima darah dari saudara yang tidak seiman.