Kiai memiliki peran penting di tengah-tengah umat islam bahkan di masyarakat luas secara umum. Di Indonesia, khususnya di Madura, adat dan agama saling mengisi dan memperkuat. Misalnya; adat berkumpul, bersosialisasi di suatu masyarakat diperkuat dengan nilai-nilai silaturahmi yang dibawa oleh agama. Atau, ajaran menghormati guru dan orang tua diperkuat oleh prinsip-prinsip dan istiadat masyarakat seperti bhupa’ bhabhu ghuru ratoh-nya orang Madura.
Tanggung jawab yang dipegang oleh kiai menjadi semakin luas dan berat. Tidak hanya mengurusi santri dan sibuk dengan pesantrennya, ditambah lagi menjadi gurunya masyarakat, menjadi tokoh masyarakat yang perbuatan dan kata-katanya ditauladani (kalau tidak diartikan “diawasi”).
Realitas ini seperti menciptakan dua dunia yang berjarak antara kiai dan kita (masyarakat atau santrinya). Menciptakan “rahasia-rahasia” kiai yang tidak banyak kita sebagai masyarakat biasa tahu. Berangkat dari rasa penasaran itulah, terbesit dalam hati saya untuk menggali jawabannya, memutuskan sowan, mewawancarai beberapa pengasuh pondok pesantren dan orang-orang terdekat kyai lalu menuliskannya disini.
Berikut beberapa kalimat “Yang Tidak Kiai Katakan” kepada kita:
Anakku, Kupasrahkan Kau pada Allah
Bukan mendramtisir keadaan, tapi kalimat ini saya pilih untuk mewakili keadaan yang sering terjadi di kehidupan pribadi seorang kiai. Para ‘Gus’ (panggilan untuk putra kiai) semasa kecilnya, jarang mendapat perhatian ayahnya sebaik ayahnya memerhatikan santrinya.
Jadwal padat mengajar, baik yang rutin dengan santrinya maupun mengisi materi pengajian umum di masyarakat, plus menghadiri berbagai macam acara sosial kemasyarakatan, sangat mengambil banyak waktu pribadi dengan keluarganya.
RKH. Karror Abdullah Schal (dikenal dengan Ra Karror) pernah menyampaikan “jujur, bahkan sampai saya dewasa, saya itu sangat sulit bertemu abah, beliau itu jarang di rumah, hampir setiap hari menghadiri undangan, sangat sibuk mengurusi (melayani) ummat, bahkan untuk sekedar ngobrol santai saja sangat sulit,” ungkap Ra Karrar tahun kemarin (2020)[1]
Gus Ibrohim Muchlis, pengasuh pondok pesantren Al-Ibrohimy Galis juga mengatakan bahwa selama sebelas tahun beliau belajar di pondok pesantren Assirojiyah Kajuk dulu, abahnya (alm. KH. Muchlis Bahri) hanya tiga kali ngirim (mendatangi, memberikan bekal pada anaknya di pesantren) langsung ke pondok, Kiai Muchlis lebih sering menugaskan santrinya sendiri untuk ngirim Gus Ibrohim. Sekarang, setelah Gus ibrohim berkeluarga dan memiliki putra, beliau merasakan sendiri bahwa memang benar, bahwa santri dan masyarakat lebih sering diperhatikan dari pada putranya sendiri. Seakan-akan beliau berkata “anakku, kupasrahkan kau pada Allah.”
Bukan hanya rezeki yang datang, waktu pun bisa dihabiskan “dengan cara yang tak disangka-sangka”
Hal ini tidak banyak orang tahu. Ruang privasi seorang kyai itu tinggal sedikit, dan hanya sebentar. Mengapa demikian, karena sebagian besar waktunya dan keberadaannya diberikan kepada santri dan ummat.