Menjadi pejabat Negara, orang-orang penting di perusahaan swasta mungkin sudah mengantongi jadwal setiap harinya, bahkan bulan-bulan berikutnya. Mereka disebut orang penting dan sibuk, tapi masih memiliki aturan dan protokoler yang ketat. Jam berkunjung, jam istirahat, jadwal cuti dan liburan bisa ditata sedemikian rupa.
Kiai beda. Boro-boro menjadwalkan liburan, jadwal istirahat pun kadang direlakan juga untuk melayani tamu yang datang dengan keperluan mendadaknya. Dan uniknya lagi, hal ini oleh “masyarakat awam” dirasakan lumrah, karena menganggap kiai memang hadir untuk ummat, melayani ummat kapanpun-dimanapun sekaligus melupakan bahwa Kiai juga manusia yang punya kewajiban dan hak dalam keluarganya. Dan ini saya rasa bisa diwakili oleh kalimat bahwa kiai itu sering “merelakan waktunya dengan cara yang tak disangka-sangka.”
Harapan besar pribadi seorang Kiai kepada santrinya
Seorang kiai yang luhur budi pekertinya luas ilmunya serta mengasuh santri bahkan (seakan-akan) melebihi dalam mengasihi anaknya sendiri tentu memiliki harapan pribadi terhadap asntrinya. Meskipun harapan ini lebih sering diungkapkan dengan bahasa prilaku daripada bahasa lisan.
Pertama, seorang kiai sangat khawatir tentang akhlak yang telah diajarkan, dibiasakan dan ditanamkan kepada santri selama di pondok pesantren akan hilang atau rusak ketika mereka sudah keluar (lulus) dari pesantren tersebut, bahkan takut akhlak santrinya itu rusak saat liburan (pulangan pesantren) karena tidak diawasi secara langsung.
Hal ini bisa dilihat dari sikap kiai terhadap alumni, mereka yang sudah lulus dan masih menjaga komunikasi dengan kyainya, apalagi masih sering bersilaturahmi pada kiainya, akan sangat dicintai dan didoakan yang terbaik. Seorang kiai mencerikatan kepada saya, bahwa alumni itu rasanya seperti anak sendiri yang dididik, lalu dewasa, setelah tahu banyak ilmu dan pengetahuan, ia pergi merantau. Seperti orang tua, tentu merindukan kapan anaknya pulang dari rantauan. Kiai pun demikian. Merindukan alumni datang, lebih-lebih mampu menunjukkan bahwa akhlak yang dipelajari dulu di pesantren masih tetap selalu ia amalkan.
Tulisan ini dengan jujur saya buat untuk berbagi pengalaman dan membuka sedikit tabir antara kita dan kiai, agar kita bisa mengambil hikmah dan pelajaran darinya. Semoga bermanfaat dan selamat menunaikan ibadah puasa 1442 H.
Moh. Samsul Arifin,
Pengurus Pusat Ikatan Alumni Al-Ibrohimy (ILMY) dan dosen STIT Al-Ibrohimy
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H