Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam, mulai dari hasil tambang seperti batu bara dan nikel hingga keanekaragaman hayati yang melimpah di hutan tropisnya. Sayangnya, kebijakan eksploitasi sumber daya yang tidak berkelanjutan kerap bertentangan dengan upaya mencapai Sustainable Development Goals (SDGs). SDGs menekankan pentingnya keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, kelestarian lingkungan, dan kesejahteraan sosial. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa tekanan untuk menggerakkan roda ekonomi sering kali mengabaikan dampak jangka panjang terhadap lingkungan dan masyarakat.
Dalam beberapa dekade terakhir, tekanan untuk meningkatkan produk domestik bruto (PDB) telah memicu lonjakan eksploitasi sumber daya alam. Sektor pertambangan misalnya, menyumbang lebih dari 5% terhadap PDB Indonesia pada 2022. Namun, pertumbuhan ekonomi ini harus dibayar mahal dengan degradasi lingkungan. Perluasan tambang batu bara seperti yang dilakukan di Kalimantan tidak hanya merusak ekosistem hutan, tetapi juga menyebabkan kerusakan tanah yang membuat ribuan hektare lahan menjadi tidak produktif.
Konflik antara keuntungan jangka pendek dan dampak jangka panjang juga terlihat jelas di sektor kehutanan. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan bahwa Indonesia kehilangan sekitar 462.000 hektare hutan setiap tahun akibat konversi lahan untuk perkebunan kelapa sawit dan industri. Padahal, hutan berperan penting sebagai penyeimbang ekosistem, penyerap karbon, dan sumber penghidupan bagi masyarakat adat.
Eksploitasi yang tidak terkendali telah menyebabkan pencemaran air, udara, dan tanah. Limbah tambang nikel di Sulawesi Tenggara, misalnya, mencemari sumber air masyarakat sekitar, mempengaruhi kualitas hidup mereka. Selain itu, hilangnya habitat akibat deforestasi mengancam keanekaragaman hayati, termasuk spesies-spesies endemik Indonesia yang terancam punah.
Eksploitasi sumber daya sering kali memicu konflik sosial, terutama di daerah di mana masyarakat lokal diusir dari tanah mereka untuk proyek-proyek industri. Contoh nyata terjadi di Papua, di mana masyarakat adat Amungme dan Kamoro telah lama menyuarakan ketidakpuasan mereka terhadap eksploitasi tambang yang merampas tanah leluhur mereka. Selain itu, ketidaksetaraan juga meningkat karena keuntungan ekonomi dari eksploitasi ini sering kali hanya dinikmati oleh segelintir pihak.
Sektor ekstraktif adalah salah satu kontributor utama emisi gas rumah kaca. Pembukaan lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit, misalnya, telah melepaskan jutaan ton karbon ke atmosfer. Data menunjukkan bahwa pada 2021, Indonesia menjadi penghasil emisi karbon terbesar ketujuh di dunia, sebagian besar berasal dari sektor pertambangan dan deforestasi.
Salah satu masalah utama adalah lemahnya penegakan hukum. Celah dalam peraturan sering kali dimanfaatkan untuk melakukan eksploitasi yang berlebihan. Laporan Greenpeace pada 2023 menemukan bahwa banyak perusahaan tambang di Kalimantan yang beroperasi tanpa izin lingkungan yang memadai.
Banyak kebijakan yang lebih mengutamakan kepentingan ekonomi jangka pendek dibandingkan keberlanjutan. Insentif untuk ekspor bahan mentah seperti batu bara dan minyak sawit sering kali mengabaikan dampaknya terhadap ekosistem. Meskipun pemerintah telah mengeluarkan kebijakan seperti moratorium izin baru untuk perkebunan sawit, implementasinya masih jauh dari sempurna. Banyak perusahaan yang tetap beroperasi secara ilegal di area yang seharusnya dilindungi.
Untuk mengatasi dampak eksploitasi sumber daya, perlu adanya perubahan kebijakan yang mendasar. Salah satu solusi yang dapat diterapkan adalah konsep ekonomi sirkular, di mana limbah dari satu proses produksi dapat dimanfaatkan kembali sebagai bahan baku. Misalnya, dalam industri nikel, limbah tambang dapat diolah menjadi bahan konstruksi, mengurangi pencemaran dan meningkatkan efisiensi sumber daya.
Energi terbarukan juga merupakan alternatif yang penting. Indonesia memiliki potensi besar untuk mengembangkan energi surya, angin, dan geothermal. Dengan beralih ke energi yang lebih bersih, ketergantungan pada sumber daya yang merusak lingkungan dapat dikurangi Tata kelola yang baik menjadi kunci keberhasilan kebijakan berkelanjutan. Pengambilan keputusan yang transparan dan melibatkan partisipasi masyarakat dapat mencegah eksploitasi berlebihan.