Satu Kata, Pengubah Suasana!
Oleh: Muhammad Sigit S
Temaram dengan dersik dingin yang mulai menghampiri. Tetiba "tling" notifikasi dari handphone ku, sebuah pesan yang berisi "mahabbah". Dari sana aku mulai menyigi, ternyata "mahabbah" berasal dari bahasa arab yaitu bentuk masdar dari kata Hubb yang berarti membiasakan, tetap, menyukai, pilihan, focus, tidak berselang dan tidak berpaling kepada yang lain. Atau secara gampangnya dimaknai dengan "cinta". Seketika aku bertanya dengan diri sendiri sudahkah aku mencinta dengan benar?
Benang kusut dari "cinta" adalah adanya perbedaan antara satu dengan yang lainnya, yaitu satunya cinta satunya tidak. Seperti tulusnya cinta matahari kepada bumi, yang tidak boleh mendekat apalagi menyatu. Inilah benang kusut yang akan membuat pelakunya terasa tersiksa. Padahal cinta itu bukan untuk menyiksa, bukan juga untuk merusak, apalagi membuat buta.
Namun berbeda dengan cintanya Allah ke hambanya, Imam al Ghazali mengatakan bahwa mahabbah adalah kecenderungan hati terhadap sesuatu, yaitu kecenderungan kepada Allah,"barangsiapa yang mencintai sesuatu tanpa ada kaitannya dengan mahabbah kepada Allah adalah suatu kebodohan dan kesalahan, karena hanya Allah yang berhak dicintai." Inilah cinta tanpa tapi. Cinta yang wajib tanpa kecuali. Cinta yang harus dilakukan tanpa banyak alasan. Apabila kita mencintai Allah, level cintanya sudah sampai mana? Jika mengaku di cintai Allah, nah level cintanya Allah kepada kita itu ya tergantung kitanya. Misalnya jika cinta kita ke Allah di level 1, maka cinta Allah ke  kita udah di level 100 bahkan mungkin 1000. Inilah yang harus selalu kita syukuri.
Tentang perkara cinta antar makhluk kebetulan pagi ini aku diajak mnejelajahi akun 'Sajak Dini Hari" katanya, cinta itu letaknya dihati, bukan dijalanan hingga jalan-jalan, bukan di kumpulan ucapan yang berujung telponan, bukan diungkapan yang berujung chattingan, cinta selalu tentang apa yang tak terucap secara gamblang, tak banyak kata tapi banyak di do'a. Maka sejauh apapun kau pergi, cintamu akan tetap menghampiri. Karena rasa itu seperti sebuah gelombang, seperti signal yang bisa ditangkap, dan dirasakan. Ia akan menemukan gelombang yang pas sesuai radarnya seperti pada lagu perahu kertas.
"Jadi apa kau mencintai ku?" Pertanyaan itu seperti petir menyambar dipagi hari bagi pemilik cinta sejati. Tapi tidak untuk pengumbar cinta, karena ini adalah senjata jebakannya. Jawaban dari pertanyaa itu sangat gampang, hanya "iya atau tidak", tidak perlu sajak-sajak, puisi-puisi apalagi dibuat berita pagi. Bagi yang sefrekuensi, ini akan menjadi akhir yang indah, bagi yang tidak akan berakhir entah. Pertanyaan cinta itu cukup sampai disana, tidak boleh ditambah. Misalnya, "kenapa kau mencintaiku?" Yang ketika itu dijawab dengan alasan ini itu, berarti bukan cinta kata Sujiwo Tedjo.
"lantas apa kau mencintainya?" ini adalah pertanyaan sensitif, perlu dilihat filosofi si penanya.
"aku mencintaimu" ini adalah pernyataan. Tapi bukan cinta yang sebenarnya. Nilainya baru 10 dari 100.
"kamu tidak mencintaiku?" ini adalah ungkapan gelisah. Mewakili perasaan si penanya, karena si penanya sebenarnya pernah cinta.
Sebagai seorang manusia, siapapun boleh saja mencintai atau membenciku. Karena itu urusannya. Toh cintanya padaku tak berpengaruh dengan aku makan atau tidak, juga kebenciannya tidak aku pedulikan. Urusanku adalah bagaimana menebar sifat-sifat cinta keseluruh sendi kehidupan.