Mungkin kita perlu sejenak melamun dan menukarkan posisi kita dari warga negara biasa menjadi aparat 'pembantu' pemerintah. Sebut saja kita, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP); berseragam dan bersepatu khas nan gagah.Â
Posisi kita sama, di mata negara, namun kita punya wewenang lebih dalam mengatur warga negara lain. Kita setara, tapi kita menjadi sedikit lebih tinggi ketika bertugas dan diberi tugas oleh atasan. Seperti halnya polisi, ironisnya kita dibutuhkan namun kita pun dibenci ketika harus bekerja dan bersebrangan dengan arus yang diinginkan warga negara lain.Â
Kita rakyat, yang sama-sama punya kepentingan dalam bekerja di negeri ini, tapi kita tersudut dengan label 'arogan'. Lain halnya, ketika kita menjadi seorang ustadz atau tokoh masyarakat, mungkin label yang lebih positif akan selalu melekat.
Rasa itu pun kadang menghantui kita, tapi -mungkin- kita pun harus mengakui bahwa Tuhan telah memposisikan hambanya pada posisi yang terbaik.Â
Tidak ada satpol PP yang mungkin disebut baik ketika bertugas, tapi kebaikan itu bukanlah manusia yang menilai, tapi Tuhan lah yang menilai. Itulah kita, yang kadang harus menghibur diri ketika teringat bahwa kita hanya hamba Tuhannya yang kebetulan menjadi Satpol PP.
Ketika kita bertugas di pasar, kita 'disinisi' dan 'diludahi' bak manusia paling jahat yang tak layak bersanding dengan manusia lainnya. Ada manusia lain yang bisa luluh hatinya, namun banyak pula manusia-manusia keras yang enggan untuk bekerja sama. Tapi, ya, itulah kita!Â
Kita tidak dihadapkan pada orang yang jahat, tapi kita dihadapkan pada manusia-manusia yang -sejatinya- baik, namun sedikit harus diatur atas nama kepentingan bersama.
Saat pandemi, kita -hampir- tidak disebut pahlawan, padahal kita sama-sama berada di garda terdepan. Sama-sama dengan tim medis, bahu-membahu menanggulangi penyebaran Covid-19, meskipun dengan tugas dan fungsi yang berbeda.Â
Kita pun harus menghela nafas yang agak panjang, ketika mereka; warga lain; pedagang; pelaku usaha dan masyarakat pada umumnya tak bisa diatur dengan baik. Caci-maki sudah menjadi makanan sehari-hari bagi kita, hingga kita pun kebal dengan 'mulut kotor' mereka.
Sempat kita melakukan pendekatan humanis, dan itu jauh lebih efektif. Tapi di tempat lain; di waktu lain; dalam kondisi yang lain hal itu -kadang- bukanlah menjadi kekuatan utama, karena begitu kuatnya mereka mempertahankan kehendaknya. Hingga 'tangan' kami pun harus kembali bertindak tegas.