Sumirah yang manis, paling manis, dan akan selalu manis. Surat ini ku tulis untuk pertama kali sejak bulan-bulan hujan tahun ini. Bagaimana kabarmu di sana? Ku dengar hari ini mereka merayakan hari pahlawan ya? Di sini kami juga merayakan dengan berkumpul dan bermain lagu-lagu Ibu Sud dan Ismail Marzuki. Menari dan masak bersama makanan nusantara. Pecel, rawon, rendang, coto. Kau tahu bagaimana kami mengakali bumbu kacang di sini? Aih si karjo punya akal memang tak pernah habis. Dia bikin itu bumbu kacang pakai nutella dan garam. Ntah bagaimana rasanya nanti, kami tak peduli, yang penting kerinduan masakan nusantara bisa terobati. Apalagi itu rawon punya warna hitam, susah sekali diakali. Tapi karjo masih saja bisa utak-atik. Bak engineer kehilangan baut, diakal pakai kawat, karjo pakai coklat buat penghitam rawon. Keterlaluan sudah memang, tapi namanya juga London, mereka tak punya bahan bahan itu. Ku harap kau bisa merasakan ini semua, kau pasti punya senyum membungah tak karuan, hingga tertawa terpingkal-pingkal.
Seperti biasa jalanan kota yang basah dan bacin ramai oleh para pecinta, Sum. Bar-bar tak pernah hening, terutama malam minggu seperti ini. Hiburan semacam ini pasti sudah kalap oleh polisi kalau di Indonesia. Untung saja di London tak demikian. Para pengunjung bar rata-rata mahasiswa dan dosen. Sebab memang tempatnya tak jauh dari asrama kampus. Sejak kita berpisah empat tahun lalu di bandara, sum, aku tak pernah tahu jawaban mengapa bar di London tak hanya berisi alkohol dan tembakau, tetapi juga sedia perpustakaan sastra. Apakah sebab lingkungan kampus atau sebab para sastrawan lahir di tanah ini, Sum?
Oiya, dan sore lalu aku ke bar, sejawatku datang dan bertanya lagi tentangmu. Mereka memintaku cerita untuk kesekian kalinya tentang bagaimana rupa dan kesukaanmu. lihatlah orang-orang ini, sum. Belum bertemu denganmu saja sudah tanya terus. Bagaimana kalau mereka lihat langsung . Salah-salah kami menggelar lomba rayu dadakan di bar yang lengang yang jurinya adalah kau, sum. Pialanya adalah merah lipstik bibirmu yang dicap pada tisu segi empat yang dilipat jadi lebih kecil dan bisa masuk kantong lalu dibawa ke kamar dan di pajang. Oh kami sanggup bertarung puisi sampai berteriak dan menangis hingga pagi untuk merebut tisu dengan cap bibirmu. Seperti anak-anak london yang berteriak ke tukang pos berebut tas surat. "Mr. Postman! Ada surat dari cintaku tidak!" "Ada kartu bergambar hati dengan kertas merah muda tidak!" Lihatlah, bisa gila betul kalau kau ke sini, sum. Sudah benar kau di Jerman saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H