Saat ini kita hidup di era digital di mana persebaran informasi nya sangat cepat dan masif, kita bisa dengan mudah menerima informasi dengan instan melalui internet. Bahkan bisa dibilang informasi dunia saat ini berada di gadget yang kita genggam. Namun mudahnya persebaran informasi ini bagaikan pisau bermata dua, disatu sisi kita memang bisa dengan mudah menerima informasi atau pesan melalui internet, tapi tidak semua informasi dan segala sesuatu yang ada di internet adalah hal yang positif, banyak pula hal-hal negatif seperti penyebaran hoax, penipuan, perundungan / bullying, konspirasi, pelecehan seksual dan masih banyak lagi. Salah satunya adalah persebaran kisah sejarah yang tidak benar(semu) atau istilah keren nya adalah Pseudohistory.
Mungkin sebagian dari kita masih asing dengan istilah Pseudohistory. Menurut KBBI kata pseudo memiliki arti semu atau palsu, sedangkan history dalam bahasa Indonesia memiliki arti sejarah. Jadi bisa kita katakan kalau pseudohistory adalah sejarah semu yang berasal dari kesalahan mempresentasikan catatan sejarah. Meskipun seringkali menggunakan metode yang mirip dengan yang digunakan dalam penelitian sejarah ilmiah. Pseudohistory sering menghadirkan klaim sensasional atau kebohongan besar tentang fakta sejarah yang terlalu “bagus” untuk menjadi kenyataan.
Dilihat dari banyaknya narasi sejarah semu yang mendominasi budaya populer mengharuskan kita untuk bisa membedakan antara sejarah yang diperoleh melalui proses ilmiah dengan sejarah semu. Hal ini dilakukan agar narasi tersebut tidak mengaburkan kebenaran dan menurunkan kemampuan berpikir yang ilmiah. Serta tidak digunakan sebagai pembenaran atas kebencian ataupun tindak kekerasan terhadap kelompok tertentu. Contoh dari pseudohistory ini adalah narasi yang menyebut Majapahit adalah kekuasaan Islam, Gajah Mada yang disebut memiliki nama asli Gaj Ahmada, perjalanan Laksaman Cheng Ho ke Amerika pada tahun 1421 yang ditulis oleh Gavin Menzies, Perang Mahabharata adalah perang nuklir, Napoleon pendek, dan Hitler menjadi mualaf dan mati di Garut dan narasi-narasi lainnya yang kebenaranya tidak dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
Klaim-klaim tersebut tentunya tidak beralasan dan mengada-ada sebagai contoh adalah klaim bahwa Adolf Hitler mati di Garut, karena faktanya Adolf Hitler tidak pernah ke Indonesia dan dia meninggal di Jerman meskipun ada beberapa versi penyebab kematiannya. Begitu pula dengan klaim bahwa Napoleon Bonaparte memiliki postur tubuh yang pendek, padahal faktanya Napoleon memiliki postur tubuh sekitar 168-170cm dan klaim tersebut adalah bentuk propaganda musuh untuk menjelek-jelekan dirinya.
Pseudohistory memiliki ciri yang serupa dengan historical negationism (negasionisme sejarah). Keduanya sama-sama menyusun narasi peristiwa masa lalu tanpa menggunakan metode ilmiah dan berpotensi dalam memutar balikkan kebenaran. Keduanya juga berpandangan bahwa sesuatu bisa dianggap benar kalau tidak bisa dibuktikan kekeliruannya. Ciri dari Pseudohistory adalah
1. Didasari oleh keyakinan seperti hal mistis yang tidak dapat diukur dan dibuktikan secara ilmiah
2. Gagasannya sulit untuk diuji dan cenderung tidak bisa dikembangkan (stagnan).
3. Memiliki pandangan yang cenderung terlalu menyederhanakan masalah yang seakan-akan sudah menemukan dan menentukan sumbernya. Misalnya narasi yang menyatakan bahwa virus Covid-19 adalah konspirasi yang dibuat oleh elite global dan pencegahan virus melalui vaksinasi dilakukan untuk menanam chip di dalam tubuh manusia.
4. Memiliki keterkaitan dengan sesuatu yang kekinian
5. Menggunakan sumber yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya
6. Tidak utuh karena cenderung menyederhanakan suatu peristiwa atau fakta.
7. Umumnya didorong oleh kepentingan tertentu sebagai pembenaran untuk prasangka dan kebencian terhadap suatu kelompok
Dari ciri-ciri diatas dapat dilihat bahwa Pseudohistory dapat membawa publik untuk meninjau suatu peristiwa secara keliru. Lalu mengapa ada pseudohistory?
Kehidupan yang kompleks ini menyebabkan sulitnya menjawab pertanyaan terkait dengan fenomena atau peristiwa secara akurat. Pseudohistory ini menawarkan bagi siapa saja yang tidak puas terhadap penjelasan dan kondisi yang terjadi di sekitar mereka. Namun penjelasan tersebut cenderung mengada-ngada dan menjerumuskan pembacanya ke kekeliruan. Hal inilah yang membuat penjelasan dari Pseudohistory terasa terlalu bagus untuk menjadi nyata.
Bila dikaitkan dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat, pseudohistory ini lebih mudah untuk dan cepat menyebar dalam bentuk teks, gambar, juga rekaman suara, atau tayangan. Tidak hanya pada saat ini saja, jauh sebelum itu juga terdapat narasi pseudohistory berupa propaganda yang disebarkan di Jerman pada tahun 1930-an melalui surat kabar, orasi, pamflet, dan media cetak lainnya. Narasi pseudohistory penggunaan media dalam propaganda Partai Nazi ini seakan-akan mengkonfirmasi bahwa bangsa Arya lebih unggul dibandingkan dengan bangsa yang lain, hal ini dilakukan untuk membangun nasionalisme yang sempit.
Tidak hanya dalam bentuk Pseudohistory saja, sejarah pun bisa untuk disalahgunakan oleh individu ataupun lembaga pemerintahan. Contohnya seperti sulitnya dalam menelusuri akar pemikiran sosialisme di Indonesia dikarenakan dalam kurikulum sejarah jarang terdapat pembahasan mengenai tokoh-tokoh pergerakan nasional yang berhaluan kiri.
Jadi kemunculan pseudohistory umumnya bisa didorong oleh kepentingan golongan tertentu, misalnya kepentingan politik, keungungan materil, dan kebencian terhadap suatu kaum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H