Sebuah kebanggaan tersendiri ketika seseorang bisa bergelar mahasiswa. Karena tidak setiap individu mempunyai kesempatan bisa mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Oleh karenanya, mahasiswa mendapat stigma positif dari masyarakat luas, bahwa mahasiswa adalah komposisi berharga yang dimiliki suatu negara yang berpotensi besar membawa transformasi positif dengan intelektual yang mahasiswa miliki. Sebutan mahasiswa sendiri diambil dari dua suku kata yaitu “maha” yang artinya sangat, amat, besar, agung, dan “siswa” memiliki arti seseorang yang sedang berlajar. Esensinya adalah seorang pelajar tingkat tinggi yang sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi.
Sedangkan nama “mahasantri” belum banyak orang ketahui, mengingat publikasi istilah mahasantri masih minim diserukan. Nama mahasantri mulai muncul di publik, seiring berkembangnya zaman yang mengharuskan seorang santri mengenyam pendidikan formal tahap akhir yaitu perguruan tinggi. Yang berararti: mahasantri adalah mahasiswa yang bermukim di pesantren sembari berkuliah. Dan perbedaan sederhananya adalah: mahasantri sudah pasti mahasiswa, sedangkan mahasiswa belum tentu dikatakan mahasantri.
Mengapa Harus Mahasantri?
Menjadi mahasiswa tidak hanya sekedar berangkat ke kampus kemudian belajar dan mengerjakan tugas. Namun mahasiswa dituntut untuk berfikir kritis terkait permasalahan yang ada. Sehingga dengan ilmu yang dimiliki, seharusnya mahasiswa mampu mengaplikasikan ilmunya dengan baik dan benar. Tapi pada kenyataannya banyak kasus perihal mahasiswa yang tidak mencerminkan orang berpendidikan. Seperti halnya kasus kekerasan fisik terhadap mahasiswa baru Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari-Sulawesi Tenggara saat kegiatan latihan dasar kepemimpinan (LDK), kekerasan psikis terhadap mahasiswa baru oleh mahasiswa senior saat ospek via online di Universitas Negeri Surabaya (UNESA), dan baru-baru ini viral di media sosial perihal pelecehan seksual yang dilakukan oleh tenaga pendidik (dosen) terhadap mahasiswi Universitas Riau (UNRI) saat bimbingan skripsi. Sebuah cerminan buruk yang menodai pendidikan bangsa ini. Kejadian ini mengajak kita melihat bahwasanya ilmu saja tidak cukup untuk dijadikan pegangan hidup. Dan butuh penopang kompeten untuk mengarahkan ilmu ke arah yang benar, yaitu dengan kontribusi adab/akhlak.
Dalam manuskripnya Hadratussyekh Hasyim Asy’ari (pendiri organisasi Nahdlatul Ulama) yakni Adab al-alim wal Muta'allim fi maa yahtaju Ilayh al-Muta'allim fi Ahwali Ta'alumihi wa maa Ta'limihi, terdapat kutipan indah dari ulama sufi yang terkenal dengan anugerah kekayaannya yakni Syekh Abdullah bin Mubarak :
نَحْـنُ إِلَى قَلِيْــلٍ مِــنَ اْلأَدَبِ أَحْوَجُ مِنَّا إِلَى كَثِيْرٍ مِنَ اْلعِلْمِ
“Kita lebih membutuhkan adab (meskipun) sedikit, dibanding ilmu (meskipun) banyak.”
Redaksi ini mengindikasikan bahwa “Al-Adab Fauqol ‘Ilmi” (Adab lebih tinggi derajatnya dibanding ilmu). Maka dalam problematika ini, mahasantri lah yang sudah sepantasnya kembali dihadirkan dalam panggung dunia pendidikan. Karena disamping menuntut ilmu formal di perguruan tinggi, mahasantri juga dibekali dengan ilmu agama yang siap menopang entitas keilmuan. Sehingga menjadi karakter berkualitas dengan mengintegrasikan dua bidang ilmu sekaligus (formal dan non-formal).
Pada hakikatnya, seorang yang berakhlak sudah pasti berilmu. Karena usaha untuk mendapatkan akhlak harus dipelopori dengan adanya ilmu. Dan di pesantren hal itu diajarkan kepada mahasantri lewat metode pengajian yang di serukan oleh sang mahaguru.
Di perguruan tinggi, kebanyakan dosen hanya mengajar saja tanpa mendidik. Sedangkan di pesantren, para kiai dan ustadz menunaikan keduanya dengan tegas disertai cinta kasih sayang.
sehingga terwujudlah kehidupan yang cerdas dan ber-akhlakul karimah sesuai ajaran agama. Dan ini lah yang dibutuhkan bangsa dan dunia untuk mensejahterakan peradaban manusia melalui peran mahasantri.