Selama ini banyak catatan penting yang menyematkan betapa buruknya tindakan yang diaplikasikan seorang korporat. Historis yang tercatat begitu panjang yang dapat kita rangkum mulai dari alineasi-nya Karl Marx hingga pada kesadaran palsu dan one dimensional of man-nya Herbert Marcuse. Hal demikian mendorong berbagai kalangan terutama abang-abang kiri mahasiswa untuk membenci praktik-praktik kapitalisme. Wajar apabila kapitalisme itu ditentang, apabila memandangnya sebagai suatu bentuk akumulasi kapital yang dipraktikan menjadi sentris kapital yang melanggengkan workless. Meski demikian, tidak berarti kita merasa perlu untuk menghabisi korporasi atau meniadakannya, memandang bekerja dalam sebuah korporasi sebagai sesuatu yang imoral. Hal yang mesti dilakukan justru merekontruksi atas eksistensi korporasi mulai dari hal yang bersifat konseptual hingga ke impelementatif dan pengawasan/evaluatif.
Secara historis penindasan yang dilakukan dalam praktik kapital memang benar adanya. Mulai dari upah yang hanya dapat untuk membeli roti, gandum dan susu, jam kerja yang over hingga 20jam/24jam, serta bentuk pengabaian atas jaminan keselamatan kerja berikut hak-hak lainnya seperti cuti. Atas dasar historis itu, tidak heran apabila Heinrich Karl Marx melalui pendekaan materialisme dialektika historisnya meramlkan kapitalisme akan runtuh. Ramalan tersebut begitu logis, sebab umat manusia tidak akan tinggal diam atas penindasan yang dijalaninya bertahun-tahun. Meski begitu logis, ada yang luput dalam pembacaan Marx, bahwa ternyata para korporasi itu memiliki adaptasi yang mapan atas bentuk perlawanan dari masyarakat dan kaum pekerja.Â
Adaptasi dalam tindakan kapital oleh seorang korporat dapat dicermati di berbagai peristiwa, termasuk dengan apa yang terjadi tahun 1990-an pada perusahan Nike. Fetisme yang diciptakan Nike atas produknya terhadap masyarakat berlangsung begitu besar. Namun di tahun itu, beberapa lapisan aktivis mahasiswa di Amerika Serikat melakukan protes dengan mambawa tuduhan dan potret atas kondisi buruk pabrik-pabrik Nike di mana dalam kampiun itu terdapat bentuk pemerasan terhadap para buruh di negara berkembang. Akibat protes tersebut, reputasi Nike terpuruk dan menghambat penjualan produk Nike bahkan hampir dioboikot. Tentunya hal demikian menjadi pertimbangan Nike, apalagi kelompok yang resist merupakan kelompok muda yang merupakan pasar dari penjualan produk Nike itu sendiri. Awalnya, Nike menyikapinya secara defensif dengan cara playing victim. Namun, manajemen Nike menyadari sikapnya yang demikian tidak berguna sehingga melakukan respon yang cukup cepat atas tudingan tersebut dengan cara memberlakukan kode perburuhan serta mengundang auditor eksternal yang high profile supaya memverifikasi bahwa kode tersebut diterapkan secara berkelanjutan. Tapi, tindakan Nike ternyata sebatas gimmick hingga menyulut konfrontasi kelompok aktivis mahasiswa di Amerika yang hendak memboikot Nike sebab dianggap tidak jujur. Pembenahan yang jujur akhirnya dilakukan secara profesional sebab manajemen Nike sadar betul hampir kehilangan bakul nasinya. Terdapat beberapa pembenahan yang dilakukan Nike, di tahun 1996 mendirikan departemen khsuus yang bertugas untuk memastikan standar perburuhan diterapkan diterapkan, di tahun 1998 departemen tersebut dikembangkan menjadi Corporate Responsibiliy Departemen yang hendak memberikan isyarat bahwa Nike berbisnis tidak sebatas mengikuti standar melainkan memikul tanggung jawab sosial. Kemduian, selain menambah kuantitas petugas CSR-nya, Nike mengundang profesional dari eksternal untuk mengaudit para pemasok. Hal demikian mengungkap betapa masih banyak kegagalan yang belum memenuhi standar. Tidak puas akan hal itu, Nike membentuk tim yang terdiri dari para manajer senior serta pakar dari luar untuk menuntaskan kegagalan yang berlarut supaya berjalan efektif dan efesien dalam menyesuaikan dengan kode perburuhan. Nike berhasil beradaptasi sekaligus mematahkan ramalan Karl Marx, Nike bermetamorfosis dari korporasi yang menghisap buruh melalui tahapan compliance, managerial, beyond commplience, hingga ke strategic yang memperlihatkan wajah kampiun perusahaan yang peduli atas tanggung jawab sosial.Â
Tindakan korporasi selalu digeneralisir sebagai suatu manifestasi atas cerminan Homo Techno Economicus. Sebuah cara pandang yang melihat alam sebagai sekedar komoditas untuk meraup keuntungan tanpa memiliki tanggung jawab serta kepedulian atas ketimpangan sosial yang berlangsung serta perubahan iklim yang terjadi. Cara pandang itulah yang seharusnya ditentang, tapi tidak tuntas pada penentangan, harus dilanjutkan dengan evaluasi dan perbaikan. Korporat yang keparat itu perlu disadarkan supaya berhijrah dari homo techno economicus menjadi homo ecologicus, manusia yang memandang dengan penuh kesadaran bahwa kerusakan alam semesta berlangsung akibat tindakan-tindakan manusia salah satunya dari tindakan-tindakan kapital.Â
Rachel Carson, seorang ibu rumah tangga di Amerika menerbitkan buku berjudul Silent Spring pada 27 September 1962. Buku itu menjelaskan betapa pestisida buatan manusia turut  mempengaruhi kerusakan lingkungan. Silent Springberarti musim semi yang sunyi, menggambarkan musim semi yang biasa dipenuhi dengan bunga bermekaran serta kupu-kupu yang berterbangan kian hilang akibat pengaruh pestisida. Buku tersebut memberikan implikasi terhadap kebijakan Amerika Serikat tatkala itu, dengan disahkannya UU tentang udara bersih pada 1963 dan disahkannya UU kebijakan lingkungan nasional pada 1970 serta dilarangnya DDT (Diklorodifeniltrikloroetana) pada 1972.Â
Berkanaan dengan itu, John Elkington pada 1997 menegaskan konsep the triple bottom line. Bagi Elkington, economic property perlu diimbangi denganenvironmental quality serta social justice. Maksudnya, perusahaan tidak boleh terfokus hanya kepada mengejar profit, tetapi juga ikut terlibat dalam pemenuhan kesejahteraan masyarakat serta turut berkontribusi dalam menjaga kelestarian lingkungan. Bagi korporat, profit tentu begitu penting untuk dicapai sebab merupakan inti dari laju-mundurnya aktivitas perusahaan. Tidak dapat dipungkiri bahwa tanggung jawab sosial bukan merupakan kegiaan utama dari korporasi yang senantiasa meraup laba. Namun hal demikian tentu tidak masuk akal, esadaran terhadap masyarakat dan lingkungan tidak boleh dikesampingkan, sebab masyarakat (apalagi masyarakat sekitar) serta lingkungan pada prinsipnya merupakan bagian dari stakeholders yang turut menjadi variabel dalam keberlangsungan perusahaan tersebut. Keberlanjutan perusahaan akan dapat berlangsung apabila mampu beradaptasi dan memelihara interaksinya dengan dimensi sosial. Tren demikian harus ditanggapi korporasi dengan serius, sebab masyrakat tidak suka terhadap korporasi yang tidak komunikatif, arogan, serta tidak kontributif.
Korporasi-korporasi perlu banyak belajar, termasuk yang di indonesia. Telah banyak fenomena yang terjadi akibat praktik-praktik kapital mengabaikan hablummnial'alam (relasi dengan alam) Â dan hablumminannas (relasi dengan manusia). Mulai dari tragedi lumpur lapindo, Masyarakat Papua yang menjadi bara dalam sekam akibat kekayaannya dihisap oleh pertambangan sementara masyarakatnya tidak mendapatkan perhatian. Hal demikian merupakan bentuk kegalalan yang perlu dibenahi. Tidak hanya belajar dari kegagalan, terdapat aktifitas korporasi yang perlu dicermati, salah satunya PT HM Sampoerna. Dalam bidang pendidikan, korporasi tersebut membentuk Sampoerna Fondation pada tahun 2001 yang turut berkontribusi mengembangan sekolah menengah umum guna memiliki standar internasional, termasuk dalam memberikan bantuan kepada para siswa. Di tahun 2003 korporasi tersebut meluncurkan program perpustkaaan sampoerna guna memperkuat daya baca masyarakat, mulai dari gedung perpustakaan, perpustakaan keliling, taman baca hingga pengembangan keluarga baca.
Dalam bidang ekonomi, korporasi tersebut berkomitmen pada keterlibatan masyrakat. Sejak tahun 1994 terdapat program Mitra Produksi Sigaret (MPS) yang memberdayakatan pengusaha kecil-menengah dalam kemitraan, pesantren dan koperasi di daerah pedesaan serta kota kecil dalam memproduksi sigaret kreter tangan. Program trsebut pada 2019 telah bekerja sama dengan 37 unit MPS Â dengan tenaga kerja 61 ribu di Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta. Hal demikian mendorong pengurangan urbanisasi serta menghidupkan perekonomian daerah. Selain itu, sejak 2003 pula korporasi tersebut memiliki program Pemberdayaan Masyarakat Desa yang berfokus pada empat hal, model usaha, dana bergulir, pelatihan bagi masyaraka, pendampingan kelompok swadaya masyrakat dan pengembangan jaringan pasar. Sementara dalam bidang sosia, sejak 2002 melalui Sampoerna Rescue dengan menghimpun relawan terlatih ikut terlibat membantu dalam menanggulangi akibat bencana gempa, tsunami, longsor dan letusan gunung merapi. Adapun dalam urusan lingkungan, PT HM Sampoerna melakukan pelestarian alam dengan program kotaku hijau menanm sejuta pohon di Malang dan Pasuruan.Â
Kesadaran tanggung jawab sosial tersebut perlu diterima dan diimplementasikan oleh para korporasi yang hendak berkelanjutan dalam menjalankan bisnisnya. Terlebih, dalam UUD 1945 Pasal 28 H tercantum hak mendapatkan lingkungan hidup yang sehat sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia. Lebih Lnjut, Prof. Jimly mengutarakan dalam buku Green Constitution bahwa hari ini sedang tren yang disbebut sebagai ecocrasi, kedaulatan lingkungan hidup. Meskipun di Indonesia lingkungan hidup yang sehat sebatas dijadikan bagian dari HAM, namun di berbagai negara seperti Equador telah mencantumkan kedaulatan lingkungan hidup secara independen, bahwa sudah menjadi keharusan bagi korporasi untuk melestarikan alam di samping hal-hal yang sifatnya restiuttif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H