Semula aku hanya cairan, menerobos masuk dalam kandungan. Berbulan-bulan aku di sana, bergerak bermetamorfosa. Gelap tanpa cahaya, sendiri tanpa saudara.
Sembilan bulan berlalu. Dorongan kuat menghempasku. Menuntunku ke lubang kecil, yang semula aku masuki. Sudah nasibku, masuk didorong, keluar didorong.
Dari proses masuk dan keluarnya aku, ada perempuan menahan perih, robek bagian tubuhnya. Ada luka, ada suka. Ada derita, ada bahagia. Cemas bercampur harap. Pada satu hentakan terakhir, aku terlahir.
Kilauan lampu silaukan mataku. Aku menangis gelisah, orang-orang malah sumringah. Kulihat perempuan cantik terkulai lemas. Lelaki di sampingnya mendekatiku, melantunkan sesuatu di kupingku, ia mengazaniku. Doktrin ketauhidan, di awal kelahiran.
Hari-hari berlalu. Panca indraku kian berfungsi, mereaksi dan mempersepsi. Tapi aku masih begitu rapuh, tak mampu berjalan apalagi berlari. Hanya berpindah dari gendongan ke pangkuan.
Masa-masa itu, kulalui hari dengan tidur. Sesekali menangis karena lapar. Ah, perempuan cantik itu begitu sigap. Mendengar tangisanku, ia langsung mendekap. Dengan nyanyian dan air susunya, aku kembali terlelap.
Waktu adalah aliran sungai, mengalir tanpa peduli. Kini aku di ujung belia. Usiaku bertambah, tidurku berkurang. Makan dan bebanku ikut bertambah. Pengetahuan dan kesadaranku, entah.
Lalu masuklah aku usia puluhan. Kulihat orang-orang berbincang, tentang alam, manusia dan Tuhan. Kulihat tua muda ibadah, rela mati demi agama.
Kuarahkan pandangan ke diriku. Kucermati identitasku. Ternyata aku sudah berbusana. Aku sudah beragama, sudah beriman dan meyakini Tuhan. Entah siapa yang kenakan busana-busana itu padaku, atau mungkin paksakan tanpa sadarku. Aku tak tahu.
Selaksa tanya menari dalam fantasi. Berlusin hari dipenuhi kontemplasi. Tuhan, alam, diri, iman bahkan kopi di hadapan, turut kurenungi. Evaluasi atas apa yang sudah kuyakini, dimulai.