Senyum yang berubah menjadi lamunan
Cerianya yang berubah menjadi keheningan
Tangis, Isak yang kini kian dalam
Ringisan yang kian meluas di pinggiran negeri
Hidup bukan tidak kami syukuri
Hidup bukan tidak kami perjuangkan
Tapi apalah daya kami, beban ini semakin menghantam
Tanah kaya nan subur dulu kami punya
Sekarang tandus tak berpenghuni tinggal lobang Galian
Mereka mengambil harta Karun yang ada di tanah kami
Tetapi kami tidak dipedulikan sama sekali
Â
Lihatlah tuan... Lihatlah
Dunia mengetahui kami memiliki harta Karun yang tersimpan
Dunia beradu menghampiri tempat kami berada
Seribu janji manis mereka lontarkan
Tetapi semua demi kepentingan saja
Â
Kami yang tidak memiliki kemampuan
Kami yang serba keterbatasan
Seolah hanya dimanfaatkan
Lihat lah tuan, lihat lah
Dengarlah tuan, dengarkanlah
Tangisan anak kami yang berbalut kain lusuh
Meringis kedinginan di gubuk lapuk
Tempat anak kami bermain, kini menjadi pagar tinggi berlapis beton
Â
Lihat lah tuan, dengarkan lah tuan keluh kesah kami
Kalian selalu mengatakan tentang keadilan
Tapi apakah yang kami rasakan sudah adil dalam berkehidupan
Tanah leluhur kami saudagar kuasai
Tanah yang diperjuangkan dengan pertumpahan darah mereka miliki
Tanah dimana kami tinggal sebelum negeri ini berdiri
Kami tersingkir hanya karena sepucuk surat yang namanya legalitas
Tuanku, dengarkanlah ,lihatlah kami
Kesengsaraan kami di pinggiran negeri ini.
Bekasi, 4 Maret 2022
By : Muhammad Rifqy Nur Fauzan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H