Pukul 23.00
Aku mendapatkan jatah ronda. Di pos aku dikelilingi oleh bapak-bapak, asap rokok kretek, dan leluconnya yang garing. Karena merasa suntuk dan ngantuk aku bergeser ke warung kopi. Jaraknya hanya lima meter dari pos.
Berselang beberapa menit. Datanglah lelaki dewasa--berumur sekitar dua puluh satu tahun--ketika kopi hitamku siap diseruput. Ia menawarkan rokok dan perbincangan dimulai.
Ia lebih menguasai perbincangan. Aku hanya diberi ruang mendengar dan bertanya saja. Tak apa, tiga batang rokok adalah bayarannya.
Dari ceritanya, aku mendapatkan informasi bahwa ia adalah pedagang es buah dan sudah menikah. Tak perlu bertanya kenapa menikah muda. Ia dengan rela membeberkannya begitu saja.
Ia menikah ketika masih di bawah umur karena orang tuanya--yang juga penjual es buah--ditantang oleh pelanggannya untuk menjadi besannya. Tanpa berpikir panjang, ayahnya pun menyetujuinya. Namun, yang membuatku tercengang adalah bahasa tubuhnya. Ia menunjukan seolah-olah aksi orang tuanya sangatlah heroik di matanya.
Dalam hatiku berkata.
Ternyata hidup lucu, ya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H