Mohon tunggu...
Muhammad Reza Santirta
Muhammad Reza Santirta Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Menulis adalah seni

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Harga Sebuah Ketergesaan

4 Desember 2019   12:11 Diperbarui: 4 Desember 2019   12:28 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa orang berbongong-bondong pada satu titik. Kemudian, beberapa anggota polisi menghadang warga yang hendak melihat-lihat. 

Disana, terjadi kecelakaan antara sebuah sepeda motor dengan truk berukuran sedang. Kondisi bagian depan motor itu hancur tidak membentuk. Swing depannya terlepas dan stang motor itu menjadi keadaan bengkok.

Lampu depannya sudah pecah dan tangki depan motor itu menyemburkan tumpahan minyak. Namun, tidak terjadi adanya percikan api.

Tak jauh dari hancurnya sepeda motor, tampak sesosok manusia yang tergeletak tak berdaya. Beberapa orang mengerumuni tubuh itu. Sementara di dekat truk, seorang pria paruh baya itu ditanyai beberapa hal oleh seorang polisi.

Kondisi truk itu masih  utuh. Hanya grill depan truk yang rompal dan sayap bodi depan kanan Isuzu Canter yang remuk dan lecet. Akibat kecelakaan itu, terjadilah kepadatan arus lalu lintas. Polisi harus memberlakukan sistem buka tutup untuk mempercepat laju kendaraan.

Dua orang muda yang berada di tengah kerumunan itu hanya melongok menyaksikan sosok yang tergeletak itu. Ia kecewa sekaligus masygul menyaksikan sosok itu.

"Motor Nujun hancur parah. Tapi untung saja dia enggak meninggal. Kenapa dia bisa kecelakaan begini?" Desis Nardi, teman Nujun.

Teman satunya hanya mengangkat bahu.

Nujun mengilatkan sepeda motor sport itu dengan kanebo. Ia selalu merawat dan membersihkan motor itu sebelum berangkat. Stang, swing, roda, hingga bodi mendapatkan perhatian secara menyeluruh untuk dibersihkan.

Pagi itu, Nujun akan berangkat kuliah. Ia sudah memasuki semester 7 dan akan mengakhiri kuliah S1 Jurusan Arsitektur.

"Jun, makan dulu. Nanti kamu lapar, lho." Bujuk ibunya sambil membawa sepiring nasi dengan sayur lodeh.

Nujun menatap sepiring nasi yang dibawa ibunya. Sambil mengelap motor, ia mengibaskan telapak tangannya.

"Enggak usah bu, aku bisa makan sendiri nanti."

"Jadi kamu enggak mau makan dulu nih."

"Nanti saja, lagi buru-buru nih."

"Tapi, masak kamu bisa cuci motor sepagi ini."

"Udah lah bu... aku bisa makan sendiri nanti. Tempat makan juga banyak bu."

Nujun masih tetap dengan kegiatannya membersihkan motor. Ia mengelap bodi swing itu hingga mengilap. Semuanya dibersihkan hingga tampak seperti baru.

Motor sport itu adalah hadiah saat dirinya berulang tahun 5 bulan lalu. Temen-temannya membeli motor itu tanpa sepengetahuan Nujun. Mereka juga melibatkan ayah dan ibu Nujun untuk bekerjasama membeli motor yang ditaksir harganya mencapai 60 juta.

Tentu saja, teman-temannya membayar secara patungan dengan dibantu oleh ayah dan ibunya yang merupakan orang berada. Umur Nujun kini sudah 22 tahun.

Setelah mengelap motornya, ia langsung menyalakan mesin. Kunci ia putar ke atas. Jempol kanannya menekan tombol starter dan 4 jari kirinya menekan rem dengan kuat. Tak lama, suara deru menggema hingga memekakkan telinga. Suaranya mengaum di sebuah garasi depan berukuran 4x5 meter itu.

"Wum... wum... wum..." Suara deru motor sport itu.

Ibunya yang baru keluar dari dapur langsung menuju garasi.

"Ya ampun nak... motor baru dibanggain. Giliran disuruh makan malah ditunda. Motor aja butuh makan masak orangnya enggak mau makan."

"Aku pengen kebut sekarang. Dosen sudah menunggu."

"Ya ampun... kalau kuliah kan enggak harus buru-buru kan."

"Enggak begitu bu... masalahnya, aku harus menyerahkan proposal skripsi ini sekarang juga."

"Dosenmu kok minta cepat. Lagian sih, kamu tuh harusnya tuntasin skripsi dari kemarin-kemarin. Biar enggak telat kayak gini."

"Ibu enggak tahu urusan anak muda."

"Ya udah... hati-hati saja kalau bawa motor. Banyak truk di jalanan."

"Tenang Bu, aku bisa atasi."

Nujun langsung menaiki sepeda motor. Gas ia putar beberapa kali untuk memanaskan mesin. Ibunya yang mendengarnya langsung menutup telinganya. Nujun seakan menikmati irama tak beraturan yang repetitif itu.

"Wung... wung... wung... wung..." Suara deru itu menyebabkan polusi asap di sekitar garasi.

Selesai memanaskan mesin, Nujun memutarkan badan motornya ke gerbang depan.  Motor itu langsung melesat pergi.

"Ya Allah nak... motor dibanggain aja. Aduh... ni asap gede banget lagi." Geram ibunya sambil mengibaskan telapak tangan di depan hidungnya.  

"Bu Winda, asapnya gede banget ya. Saya sampai harus nutup hidung nih."

"Anak saya saja kayak gitu kalau punya motor baru."

"Diingetin aja kalau bawa motor jangan geram-geramin gas. Nanti gangguin tetangga."

Nujun membawa motor sport itu dengan kecepatan tinggi. Beberapa kendaraan ia salip dengan lincah. Badan motor ia miringkan ketika menyalip beberapa kendaraan.

Seorang anak muda tampak berlari bersama temannya menuju sebuah rumah. Anak muda yang jangkung itu membawa sebuah berkas tebal dengan kover logo sebuah universitas. Nardi terus berlari bersama temannya tanpa peduli diperingatkan tetangganya. Bahkan, ia nyaris ditabrak sepeda motor.

"Hei... lihat-lihat dong!"

"Maaf pak, lagi buru-buru."

Pria itu melajukan motornya dengan kecepatan tinggi.

Sampailah Nardi dan seorang temannya menuju rumah Nujun. Bu Winda yang melihat kedatangan dua orang teman Nujun langsung tersentak.

"Ada apa ini?" Kejut Bu Winda.

"Bu, Nujun udah udah berangkat ya?" Ucap Nardi dengan terengah-engah.

"Udah Di, motornya sudah lenyap dari tadi."

"Waduh... dia ketinggalan ini. Katanya mau dibawa ke kampus buat hari Senin. Ini, saya temukan pas main PS kemarin."

"Huh... kayak gini kelakuan anak muda kalau cinta dunia. Jadi, kemarin keluar rumah  dibilang mau ngerjain proposal skripsi... rupanya malah main PS." Desah Bu Winda sambil mengelilingi ruang tamu.

"Kalau gitu, maafkan kami telah merepotkan tante." Ucap teman Nardi.

"Ya gimana... dia lupa bawa proposal skripsi. Gini aja deh... kamu kejar saja si Nujun. Kalau ada apa-apa, biar dia yang tanggung jawab."

"Sekarang dia dimana ya?" Ucap Nardi pada temannya.

"Ya ke kampus lah..."

"Kita susul aja yuk."

"Cari angkot ke kampus aja."

"Ayo... ide bagus. Tante, saya permisi dulu. Maaf kalau membuat tante kerepotan."

"Tidak masalah Nak. Semoga ketemu sama tuh anak."

Mereka berdua langsung meninggalkan rumah Nujun.

Sepeda motor sport itu terus melaju dengan kecepatan tinggi. Jalanan yang dilewati sangatlah berliku dan hanya memiliki 2 lajur. Jalanan itu menaik dan berkelok membuat beberapa kendaraan lain harus menurunkan laju kendaraan.

Namun, kondisi itu tidak menyurutkan semangat Nujun untuk melaju hingga sampai ke kampus. Perjalanan dari rumah ke kampus membutuhkan waktu sekitar 21-25 menit tergantung kondisi jalan.

Jauh di belakangnya, beberapa kilo dari Nujun, sebuah angkot melintasi jalan yang terus menukik ke atas. Angkot itu melaju dengan pelan karena beratnya beban dan mesinnya yang terus meraung. Tampak penumpang di dalamnya berjubel.

"Wah, pelan sekali angkotnya!" Umpat sopir angkot.

Sepeda motor itu terus melaju sangat kencang. Seorang polisi yang kebetulan berada di sebuah tikungan terkejut ketika melihat sebuah motor melesat. Segera saja, ia langsung mengambil motor dinasnya untuk mengejar pengemudi itu.

Nujun melaju bagai kesetanan. Saat melihat ke arah cermin, ia terkejut melihat seorang pria berseragam cokelat menghampiri dirinya dengan kecepatan tinggi. Suara sirine yang meraung membuat hatinya semakin gelisah.

Gas langsung ditekan hingga full. Ia juga melihat ke kanan dan ke kiri untuk mencari jalan sempit.

Saat jalanan sudah lengang, ia langsung menekan lampu rating ke arah kiri. Tiba-tiba, di depan ada sebuah truk Canter melintas ke arahnya dengan kecepatan sedang. Nujun langsung menekan rem dengan kencang hingga full.

Namun terlambat, badannya langsung menghantam bodi truk hingga dirinya jatuh.

"Bruk!!!" Bodi depan seperti swing motor itu langsung patah dan terlempar hingga ke atas. Badan motor itu seketika berhamburan hingga berserakan di jalan. Badan Nujun langsung terlempar dan berguling beberapa kali hingga akhirnya berhenti di pinggir jalan yang berpasir.

Matanya masih sayu. Ia masih bisa menatap dunia walaupun terlihat samar. Tak lama, kelopak mata itu langsung mengatup. Hingga gelap menutupi pandangannya. Ia pingsan seketika.

Seorang polisi yang tadi mengejarnya langsung berhenti.

Sebuah angkot yang berjalan dengan pelan itu langsung berhenti. Terjadi kemacetan total di lokasi itu. Nardi dan temannya yang berada di dalam angkot itu langsung gamang.

"Bagaimana kalau sidang proposal skripsinya telat?" Batin Nardi.

Angkot itu langsung berjalan setelah diberi jalan. Mereka berdua melihat sebuah truk yang ringsekdan badan sepeda motor sport yang sudah tidak lagi membentuk.

Nardi seperti mengenal sepeda motor itu. Setelah melongok ke depan, ia langsung turun.

"Itu Nujun deh." Tunjuk temannya.

"Wah benar. Kita tolongin dia." Jawab Nardi.

Setelah pria jangkung itu membayar ongkos angkot, ia langsung menuju lokasi dimana Nujun terkapar. Namun, ia langsung dihalang oleh seorang anggota polisi yang mengamankan lokasi.

"Motor Nujun hancur parah. Tapi untung saja dia enggak meninggal. Kenapa dia bisa kecelakaan begini?" Desis Nardi, teman Nujun.

Teman satunya hanya mengangkat bahu.

Seorang pria paruh baya itu ditanya beberapa hal oleh seorang anggota polisi yang mengamankan lokasi. Terjadi perdebatan alot antara pria itu dengan seorang anggota polisi yang bertanya.

"Saya tadi mau menghindar... tapi motor itu kencang banget dan tak lama langsung bruk..." Ucap pengemudi itu menggebu-gebu sambil menarikan telapak tangannya.

Pria yang terluka itu langsung diboyong ke sebuah mobil ambulans. Sementara,  sopir truk itu langsung diamankan polisi. Seorang reporter tampak bertanya kepada beberapa orang yang berkerumun di lokasi kejadian.

Melihat kejadian itu, Nardi hanya bisa gamang dengan proposal skripsi Nujun yang ia bawa. Pria jangkung itu langsung menyetop angkot dari arah berlawanan.

Nardi dan temannya langsung beranjak dari lokasi kejadian. Angkot kuning itu meninggalkan lokasi tempat Nujun terkapar.

"Ngebut sekali orang itu. Kalau ada yang ngebut lagi... akan ku lempar batu ke dia." Umpat seorang pria tua yang baru masuk angkot dan langsung duduk berhadapan dengan Nardi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun