"Bayangkan sebuah negara dengan lebih dari 217 ribu sekolah, 45.357.157 murid, dan 2.719.712 guru,---namun tetap tertinggal jauh dalam kualitas pendidikan dibandingkan negara-negara lain." Kenyataan ini menggambarkan tantangan besar yang dihadapi Indonesia, meskipun memiliki potensi yang luar biasa dalam sektor pendidikan. Berdasarkan Programme for International Student Assessment (PISA), peringkat Indonesia berada di posisi ke-62 dari 70 negara, dengan skor kemampuan membaca, matematika, dan sains yang jauh di bawah rata-rata global. Bahkan, penelitian Profesor Lant Pritchett menunjukkan bahwa anak-anak Jakarta tertinggal hingga 128 tahun dibandingkan negara-negara maju, khususnya dalam matematika, sains, dan membaca. Hal ini menjadi tantangan yang terus berulang setiap tahun. Selain itu, performa guru-guru di Indonesia juga menunjukkan hasil yang kurang memadai. Ujian kompetensi guru secara nasional hanya menghasilkan skor rata-rata 53,02 dari 100, mengindikasikan perlunya perhatian serius terhadap kualitas tenaga pengajar (Farihah, I., 2021).Â
Mirisnya pendidikan di Indonesia juga terkutip dalam laporan dari Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) yang juga menyoroti posisi pendidikan Indonesia yang masih berada di peringkat ke-57 dari 65 negara. Sebagai perbandingan, Inggris berada di peringkat ke-25 untuk membaca, ke-28 untuk matematika, dan ke-16 untuk sains pada tahun 2015, meskipun posisinya lebih tinggi pada 2006. Penyebab rendahnya kualitas pendidikan ini salah satunya adalah alokasi anggaran yang terbatas. Selama periode 2005--2014, Indonesia hanya mengalokasikan 3,6% dari Produk Domestik Bruto (PDB) untuk pendidikan, jauh lebih kecil dibandingkan negara-negara dengan sistem pendidikan unggul seperti Korea Selatan, Jepang, dan Finlandia, yang menginvestasikan 5--7% dari PDB mereka. Rendahnya alokasi anggaran ini berdampak pada infrastruktur pendidikan, pelatihan guru, dan kurikulum yang kurang kompetitif di tingkat global (Hutabarat, R., 2017).
Meski demikian, ada harapan untuk perubahan. Negara-negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia menunjukkan bahwa pendekatan sistematis dapat membawa hasil yang signifikan. Faktor kunci keberhasilan mereka meliputi pemanfaatan teknologi dalam pembelajaran, alokasi anggaran pendidikan yang besar, serta struktur jam belajar yang terencana untuk memastikan pemerataan pendidikan. Pendekatan ini dapat menjadi inspirasi bagi Indonesia untuk melakukan reformasi pendidikan secara berkelanjutan, sehingga anak-anak Indonesia tidak hanya memiliki akses ke pendidikan, tetapi juga meraih kualitas pendidikan yang setara dengan negara maju. Dari perspektif lain, seperti pendekatan antropologi, yang menempatkan budaya, nilai-nilai lokal, dan konteks sosial sebagai inti dari pembentukan kebijakan pendidikan, dapat menjadi kunci untuk mengatasi tantangan pendidikan di Indonesia, karena pendekatan ini mampu menyelaraskan intervensi dengan kebutuhan masyarakat secara lebih holistik dan juga sesuai dengan fakta keberagaman budaya di Indonesia. Oleh karena itu,Antropologi pendidikan membantu menciptakan sistem pembelajaran yang lebih inklusif dan berbasis keberagaman, sehingga dapat menjawab tantangan pendidikan yang ada dan mendukung pembangunan yang berkelanjutan di Indonesia (Anderson-Levitt, 2011).
"Intuisi Antropologi Pendidikan: Menyusun Pondasi Pendidikan yang Berbasis Keberagaman di Indonesia"
Antropologi pendidikan secara sistematis mempelajari praktik pendidikan dari sudut pandang kebudayaan. Kebudayaan, yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam suatu masyarakat, menjadi bekal penting bagi individu untuk menghadapi kehidupan. Kajian antropologi pendidikan berfokus pada perbedaan karakteristik antar kelompok manusia, mencakup perspektif budaya, perilaku, norma tradisi, bahasa, dan falsafah hidup yang dianut masyarakat. Pendekatan ini juga mencakup pengembangan teori-teori pendidikan yang relevan dengan keberagaman masyarakat, maka dari itu, antropologi memainkan peran penting sebagai dasar dalam pendidikan, mengingat setiap individu memiliki latar belakang yang beragam, seperti keluarga, budaya, dan lingkungan sosial. Melalui pendekatan antropologi, pendidik dapat memahami pola perilaku manusia, baik yang bersifat universal maupun spesifik dalam konteks masyarakat tertentu, termasuk komunitas suku bangsa. Pemahaman ini juga mencakup pengenalan terhadap kedudukan serta peran sosial individu yang dijalankan sesuai dengan ekspektasi masyarakat setempat. Lebih jauh, antropologi memperkaya wawasan tentang dinamika interaksi sosial manusia, khususnya di Indonesia yang dikenal dengan keragaman budaya yang luar biasa. Pengetahuan ini mendorong terciptanya toleransi yang lebih besar di antara kelompok masyarakat yang berbeda. Selain itu, pemahaman antropologi memberikan kepekaan terhadap berbagai isu sosial yang muncul, sekaligus mendorong pengambilan langkah inisiatif untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi masyarakat, baik dalam situasi yang kondusif maupun penuh tantangan. Dengan demikian, antropologi berkontribusi signifikan dalam membangun masyarakat yang inklusif dan harmonis, sekaligus mendukung proses pembangunan sosial yang berkelanjutan (Spindler, George D. 2011). Dengan landasan tersebut, penting untuk mengeksplorasi tantangan yang dihadapi pendidikan Indonesia di masa depan, khususnya dalam menyelaraskan antara orientasi keuntungan dan kebebasan berpikir sebagai dua pilar utama dalam menciptakan sistem pendidikan yang berkelanjutan.
"Tantangan Pendidikan Masa Depan di Indonesia: Menyelaraskan Keuntungan dengan Kebebasan Berpikir"
Tantangan pendidikan modern terletak pada keseimbangan antara pendekatan "Education for Profit" dan "Education for Freedom," sebagaimana dikemukakan oleh Martha C. Nussbaum. Pendidikan berbasis profit berfokus pada keterampilan teknis untuk memenuhi tuntutan pasar global, tetapi sering kali mengabaikan aspek penting seperti pengembangan karakter, empati, dan kesadaran sosial. Sementara itu, pendekatan berbasis kebebasan bertujuan membentuk individu yang kritis, kreatif, dan berperan aktif dalam membangun masyarakat demokratis. Namun, pendekatan berbasis ekonomi yang terlalu dominan dapat memperbesar kesenjangan sosial, seperti dilaporkan UNESCO (2021), di mana kelompok marjinal semakin tertinggal, sedangkan pendekatan kebebasan menghadapi tantangan berupa investasi besar dan hasil jangka panjang yang sulit diukur secara ekonomi. Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed juga menegaskan pentingnya pendidikan dialogis yang membangun kesadaran kritis, sejalan dengan pandangan Nussbaum tentang peran pendidikan untuk kebebasan. Solusi terbaik adalah menciptakan keseimbangan antara keduanya, di mana pendidikan tidak hanya meningkatkan produktivitas ekonomi, tetapi juga membekali individu dengan kemampuan berpikir kritis, empati, dan nilai-nilai demokrasi. Dengan demikian, pendidikan dapat menjadi alat transformasi yang memberdayakan individu sekaligus membangun masyarakat yang inklusif, adil, dan sejahtera. Untuk mewujudkan pendidikan yang tidak hanya berorientasi pada profit tetapi juga membangun kebebasan berpikir, penerapan equity pedagogy menjadi sangat penting, terutama dalam konteks pendidikan multikultural. Pendekatan ini memastikan bahwa setiap siswa, tanpa memandang latar belakang budaya, memiliki akses yang adil dan kesempatan yang sama untuk berkembang dalam lingkungan belajar yang inklusif dan menghargai keberagaman.
"Pentingnya Equity Pedagogy dalam Menyongsong Pendidikan Multikultural yang Inklusif"