Tidak bisa dipungkiri bahwa keadaan ekonomi Indonesia tidak bisa dibilang baik-baik saja. Pertumbuhan ekonomi yang tidak mencapai target menggambarkan bagaimana adanya sesuatu yang salah dalam sistem perekonomian kita. Menguatnya ekonomi Amerika Serikat disinyalir menjadi salah satu faktor penyebab “bobroknya” perekonomian Indonesia. Benar saja, akhir 2015 lalu, nilai tukar Rupiah “terjun bebas” menjadi Rp 14.000 per Dollar Amerika Serikat.
Keadaan ini diperparah ketika Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data bahwa orang miskin bertambah sekitar 860.000 orang akibat pelemahan ekonomi tersebut. Berbagai sudah dilakukan pemerintah untuk keluar dari krisis ekonomi yang mulai melanda negeri ini sejak akhir tahun 2015 lalu. Salah satunya merilis Paket Kebijakan Ekonomi dan reshuffle Kabinet Kerja Jilid II, dimana ada perubahan di pos kementerian bidang ekonomi.
Meski keadaan ekonomi belum stabil, Indonesia tetap memberlakukan perdagangan bebas dalam event Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Namun, dengan keadaan seperti ini, banyak kalangan menilai Indonesia belum siap menghadapi MEA.
Ketua Umum DPP Perindo Hary Tanoesoedibjo menilai masalah Sumber Daya Manusia menjadi sorotan karena sejauh ini pemerintah belum terlihat serius dalam mempersiapkan SDM, terutama dalam “menggarap” potensi anak muda.
"Kalau kita ingin membangun Indonesia agar bisa bersaing secara efektif di ekonomi global, mau tidak mau kita harus membangun masyarakat. Supaya penggerak ekonomi kita makin banyak setiap tahunnya. Di situ kita akan lebih cepat menjadi negara maju, dan lebih bisa bersaing dengan negara-negara lain," kata Hary Tanoe seperti dilansir okezone.com.
Hary Tanoe bukan hanya sekedar melempar kritik. Untuk membangun potensi anak muda agar berkualitas internasional, Perindo mendirikan MEA Center untuk membekali para pekerja Indonesia dengan bahasa asing dan kemampuan lainnya yang menunjang pekerjaan mereka.
Pemikiran Hary Tanoe yang menyarankan pemerintah agar membangun masyarakat sepertinya harus didengar pemerintah. Sebab, dengan membangun masyarakat menengah ke bawah, maka roda perekonomian lebih berjalan efektif.
Membangun masyarakat bukan hanya sekedar membuka lapangan pekerjaan, tapi harus memberikan akses pendidikan yang berkualitas agar SDM yang dihasilkan mampu bersaing dengan masyarakat luar negeri. Dengan pendidikan yang mumpuni, otomatis masyarakat akan memiliki pekerjaan yang bagus penghasilannya.
Selain ketidaksiapan SDM Indonesia dalam MEA, Hary Tanoe juga mengingatkan pemerintah bahwa jika tidak ada gebrakan di bidang ekonomi, maka sektor kredit akan bermasalah. Hal itu disebabkan berkurangnya daya beli masyarakat akibat pelemahan ekonomi, terutama di sektor pertanian dan perkebunan. Kebiasaan Indonesia mengimpor bahan pangan seperti beras, gula, daging, dan lainnya membuat pemasukan negara di sektor ini makin kritis.
Menurut Hary Tanoe, saat seperti inilah Indonesia harus menerapkan sistem ekonomi kerakyatan. Dimana pemerintah harus menghidupkan kembali perekonomian di sektor menengah ke bawah. UMKM dinilai bisa menjadi solusi bagi krisis ini, namun keseriusan pemerintah “mengolah” sektor ini juga dipertanyakan. Padahal, pemerintah punya pos kementerian khusus untuk memaksimalkan potensi UMKM ini di dalam Kementerian Koperasi dan UKM.
Selain itu, Hary Tanoe menilai sudah saatnya memaksimalkan potensi anak muda. Menurutnya, di negara maju, pemerintahnya sangat memerhatikan anak mudanya. Mereka dididik dan difasilitasi agar menghasilkan karya yang memiliki daya saing dan berstandar internasional.