MEMBANGUN KESETARAAN DUNIA POLITIK
Belakangan ini, masyarakat khawatir sikap presiden yang mendukung capres atau cawapres bisa merusak demokrasi.
Menjaga netralitas dalam perselisihan politik dianggap penting oleh otoritas negara demi terselenggaranya pemilihan umum yang adil dan bermartabat.
Karena presiden seharusnya bersikap netral, maka dapat dipahami bahwa tidak ada keharusan bagi presiden untuk menunjukkan keberpihakan terhadap calon peserta pemilu, baik calon presiden, calon wakil presiden, maupun partai politik.
Pemicunya adalah pernyataan Presiden Joko Widodo di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, bahwa Presiden dan anggota kabinetnya tidak boleh berkampanye kecuali menggunakan fasilitas negara untuk menimbulkan kontroversi di masyarakat, katanya bisa memihak.
Jika benar presiden tidak netral, apa jadinya demokrasi?
Pasal 283 ayat (1) UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 mengatur bahwa pegawai negeri, pegawai negeri sipil struktural, dan pegawai negeri sipil profesional dalam jabatan negara dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan bias terhadap peserta pemilu.
Netralitas presiden menjamin adanya proses demokrasi yang adil, terbuka, sah, dan akuntabel.
Selain itu, netralitas presiden juga mengurangi potensi penyalahgunaan kekuasaan negara yang dapat menguntungkan atau merugikan kandidat tertentu.
Presiden tergolong dalam golongan masyarakat yang mempunyai hak politik dalam proses demokrasi.
Oleh karena itu, dukungan Presiden terhadap calon tertentu sebagaimana diperbolehkan dalam UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 adalah urusan pribadi dan bukan urusan pejabat publik.
Oleh karena itu, ketika Presiden memberikan dukungan politik, fasilitas pemerintah yang diberikan kepadanya hanyalah layanan medis, keamanan, dan protokol.
Penggunaan kekuasaan negara dalam negeri adalah ilegal
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H