Mohon tunggu...
Mh. Ramadhan
Mh. Ramadhan Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Penulis lepas tak terkendali

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perempuan Setengah Puisi

26 Agustus 2018   01:16 Diperbarui: 26 Agustus 2018   02:04 731
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"DE, sepadat cintamu padaku". Katamu suatu hari , nama itu kau berikan padaku ketika kita sama-sama menyeduh senja di kaki langit yang  jingga. Waktu mulai memerah, sang surya akan segera tenggelam ke peraduannya, lalu kita sama-sama pulang untuk mengisi lembar kosong entah halaman malam yang kesekian dan kita sama-sama melukis  puisi tentang isyarat senja, katamu, senja memiliki beratus makna yang tersirat,  kadang hanya air mata yang begitu paham akan makna sesungguhnya.

Aku dan kamu, sama sama pecinta puisi, hanya saja puisimu lebih lelaki sedangkan aku lebih condong menulis prosa-prosa yang lembek dan mendayu-dayu tapi aku belajar dari setiap lukisan penamu.  Suatu hari di taman senja dalam perbincangan " di negerimu laki-laki tak boleh menitikkan air mata,  hanya wanita yang berhak menitikkan air mata karena air mata adalah sumur-sumur di belakang ruma".. 

Kadang puisimu mendayung ke lautan hatiku,  menjadi sampan kecil yang terus berlayar ke pulau pulau,  aku begitu sempurna kau buat dalam lukisan katakata, cinta yang samar-samar kau selipkan diantara puisi dan prosa serasa bahtera nuh mengambang di hatiku, aku tahu, kau begitu mencintaiku, diam-diam seluruh elegimu adalah aku, dalam bait yang kubaca di buku harianmu kala itu, katamu " aku adalah perempuan setengah puisi".

Ini bulan juni De, puisimu serasa hujan yang pecah dari langit, kali ini puisimu sepasang merpati yang terbang tinggi  lalu kehilangan sayap di akhir juni,  paruhmu penuh luka detak nafasmu terasa awan -awan pekat yang tak lama lagi akan menumpahkan air, aku pun tak kuasa. Sumur-sumur di dadaku pecah seketika itu,  gerimis kecil merintik dari kelopak mataku, aku tahu, tentang makna dari puisimu dan aku pun tak mau memberi jawaban atas cinta yang selalu kau tusukkan, kau tahu kenapa?, sepertinya senja akan benar-benar memisahkan kita dan aku tak mau mengisi lembar-lembar berikutnya dengan rindu berdarah-darah.

bahkan ketika tanggal menanggal di kamarku, satu satu kucabuti rinduku padamu dan dermaga itu akan selalu menjadi saksi paling bisu tentang perempuan setengah puisi yang kau tinggalkan ke negeri yang jauh. Negeri bayang-bayang.

******

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun