Konflik agraria merupakan konflik atau perselisihan yang berkaitan dengan permasalahan pertanahan atau lahab, khususnya dalam konteks pertanian, perkebunan atau pemukiman. Konflik agraria sendiri muncul akibat adanya ketimpangan kepemilikan, penguasaan dan  pengelolaan sumber daya pertanian (ketimpangan struktur pertanian). Konflik ini melibatkan banyak pihak, termasuk petani, pemilik tanah, pemerintah, perusahaan pertanian besar, dan masyarakat lokal.
Konflik ini sering terjadi, berskala besar, meluas dan mempunyai dimensi hukum, sosial, politik dan ekonomi. Konflik ini juga bersifat struktural, ditandai dengan adanya kebijakan pemerintah terkait penguasaan dan penggunaan tanah serta pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang disebabkan oleh konflik antara pihak yang ingin menguasai tanah dan pihak yang mempunyai hak dan kepentingan. Di tanah. Selain itu, hal ini juga dipengaruhi oleh tumpang tindihnya peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah.
Bahkan di Indonesia, konflik pertanian menjadi permasalahan yang  sering kita jumpai. Konflik pertanahan, perluasan lahan untuk keperluan pertanian atau penghijauan, serta pembangunan infrastruktur menjadi penyebab utama terjadinya  konflik. Peraturan yang tidak jelas atau kabur mengenai kepemilikan tanah juga dapat menimbulkan perselisihan dan pertikaian antar pihak yang memperebutkan hak guna tanah.
Contoh konflik agraria di Indonesia seperti yang terjadi di Pulau Rempang, Kepulauan Riau.  Pulau Rempang merupakan salah satu pulau yang berada di Kecamatan Galang, wilayah pemerintahan kota Batam, Kepulauan Riau. Pulau ini terletak 2,5 km tenggara Pulau Batam, dengan luas  165,83 km2 (16.583 Ha) atau 165 km2 atau sekitar 16.500 hektar.
Pulau Rempang merupakan rangkaian pulau terbesar kedua di Batam yang dihubungkan oleh  jembatan Barelang,  namanya diambil dari singkatan kata Batam, Rempang dan Galang. Pulau ini terletak sekitar tiga kilometer  tenggara Pulau Batam dan dihubungkan oleh Jembatan Barelang kelima ke Pulau Galang di sebelah selatan.
Konflik terkait PT. Makmur Elok Graha (MEG) sebagai pihak swasta bekerjasama dengan pemerintah kota dan PB Batam, konflik ini muncul akibat adanya proyek pengembangan kawasan Eco-City Rempang. Rencananya di kawasan membangun pusat industri, perdagangan dan pariwisata yang terintegrasi, serta guna meningkatkan daya saingnya dengan negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia.Â
Dengan perkiraan nilai investasi sebesar Rp381 triliun, Rempang Eco-City diharapkan mampu mewujudkan pembangunan yang meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan warga Rempang-Galang. Oleh karena itu, perekonomian masyarakat diperkirakan akan ditopang oleh kegiatan ekonomi mikro, kecil, dan menengah.
Proyek ini  nantinya akan menempati lahan di Pulau Rempang seluas 7.572 hektar atau setara dengan 45,89% dari total luas Pulau Rempang yang seluas 16.500 hektar. Beberapa rumah tangga yang terkena dampak harus pindah untuk mengembangkan proyek ini. Sebagai kompensasinya, pemerintah akan menyiapkan rumah tipe 45 senilai Rp 120 juta dengan luas 500 meter persegi.
Tentu saja warga Pulau Rempang menolak pembangunan proyek ini dan bahkan tidak mau pindah ke tempat lain, meski pemerintah memberikan kompensasi finansial. Mereka ingin mempertahankan tanah airnya dan meyakini bahwa rumah yang dijanjikan pemerintah  sebagai tempat pemukiman baru mereka masih tidak jelas. Oleh karena itu, permasalahan ini semakin sulit untuk diselesaikan, bahkan pihak asing pun ikut menyoroti permasalahan ini.
Puncaknya adalah  ketegangan antara masyarakat dan aparat keamanan pada 9 September 2023. Aparat keamanan yang terlibat antara lain TNI, Polri, Direktorat Pengamanan Otoritas Perdagangan Batam, dan Satpol PP.Â
Ketegangan ini bermula dari pemerintah yang memasang patok untuk mengukur tanah masyarakat sehingga menimbulkan kemarahan hingga konflik pun tidak bisa dihindari. Selain itu, pemerintah juga kurang memperhatikan asas hukum adat  yang ada di masyarakat Pulau Rempang.