Mohon tunggu...
Muhammad Rahmat Ilham
Muhammad Rahmat Ilham Mohon Tunggu... Wiraswasta - UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA

orang awam

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengenal Instrumen Derivatif dan Berbagai Permasalahan Kontrak Derivatif

22 Maret 2024   22:59 Diperbarui: 22 Maret 2024   23:07 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pengertian

Derivatif merupakan kontrak finansial antara 2 (dua) atau lebih pihak-pihak guna memenuhi janji untuk membeli atau menjual assets/commodities yang dijadikan sebagai obyek yang diperdagangkan pada waktu dan harga yang merupakan kesepakatan bersama antara pihak penjual dan pihak pembeli. Adapun nilai di masa mendatang dari obyek yang diperdagangkan tersebut sangat dipengaruhi oleh instrumen induknya yang ada di spot market.

Derivatif adalah instrumen keuangan yang nilai perdagangannya diukur berdasarkan aset yang mendasarinya, seperti komoditas, mata uang, atau sekuritas ( Somanathan dan Nageswaran 2015 ). Jenis transaksi ini bukanlah hal baru bagi komunitas Muslim. Faktanya bahwa selama berabad-abad, umat Islam telah menggunakan transaksi yang terlihat menyerupai penjualan dengan pembelian kembali segera ( bai' 'inah ), membeli secara kredit dan menjual dengan harga spot ( bai' tawaruq ), penyerahan di masa depan ( salam ), pembiayaan manufaktur. ( istisna' ), uang muka ( bai' urbun ), persekutuan umum atau komanditer ( mudharabah ), usaha patungan ( musyarakah ) ( Sadu dkk. 2018 ).

Berbagai Pendapat dalam Permasalahan Kontrak Derivatif

Cendekiawan Islam seperti Rizvi dkk. ( 2014 ) berpendapat bahwa objek suatu transaksi bisa saja tidak ada pada saat suatu kontrak ditandatangani, dan tidak adanya ciri-ciri objek yang telah ditentukan pada derivatifnya. Hal ini menyebabkan terjadinya state-contingent pricing yang menimbulkan ketidakpastian (gharar) dan spekulasi berlebihan (maysir) yang memungkinkan adanya eksploitasi terhadap orang-orang jahil. Namun, bagaimana jika karakteristik objek dan aset yang mendasarinya terstandarisasi dan pasar dikuasai oleh pengawas? 

Argumen-argumen ini mungkin menjadi tidak valid. Jenis transaksi lainnya adalah hak tetapi bukan kewajiban untuk membeli dan menjual untuk perlindungan terhadap risiko kerugian melalui pembayaran premi, dimana risiko pembeli terbatas pada biaya premi opsi tersebut tidak dapat dikategorikan berlebihan karena risiko ditetapkan untuk premium ( Andreas 2013 ). Sekali lagi, timbul pertanyaan sejauh mana ketidakpastian dan spekulasi berlebihan dapat didamaikan dalam masalah ini.

Kunhibava dan Shanmugam ( 2010 ) mengkritisi bahwa keterlibatan transaksi derivatif pada aset yang tidak ada atau aset tersebut tidak berada dalam kepemilikan penjual bertentangan dengan syariah dan menimbulkan risiko pihak lawan. Namun derivatif tersebut tidak menyerupai penjualan barang yang bukan milik penjual. Andreas ( 2013 ) menggambarkan pasar tunai pelengkap derivatif sebagai alternatif terhadap aset perdagangan yang mendasarinya dengan menyediakan instrumen lindung nilai dan peluang arbitrase berbiaya rendah. 

Inti alasan ulama membatasi penggunaan derivatif terletak pada spekulasi berlebihan di pasar derivatif, dimana pemegang derivatif memanfaatkannya untuk mendapatkan keuntungan dengan melihat kemungkinan fluktuasi di masa depan dalam jangka pendek.

Argumen lain yang menentang derivatif adalah mengenai kepemilikan sah karena derivatif melibatkan transaksi yang tidak didanai atau didanai sebagian, yang berarti aset tersebut belum dibayar penuh dan belum dimiliki secara sah. Dengan demikian, tidak ada jaminan bahwa aset tersebut dapat diserahkan dan tidak ada kepastian di masa depan ( Usmani 1996 ). 

Meskipun ulama lain berpendapat bahwa kontrak forward dalam bentuk perdagangan berjangka kontemporer mungkin mirip dengan kontrak forward pada masa Nabi Muhammad SAW, namun risiko yang timbul dari praktik spekulasi dan eksploitasi atas biaya lain bisa jadi berlebihan di dalamnya dan terdapat kurangnya kepemilikan fisik dalam kontrak derivatif ( Khan 1997 ).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun