Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah salah satu instrumen utama dalam sistem perpajakan Indonesia.
PPN ini dikenakan pada hampir semua barang dan jasa yang beredar di pasar, dari barang konsumsi sehari-hari hingga jasa yang kita nikmati.
Pada tahun 2022, pemerintah Indonesia memutuskan untuk menaikkan tarif PPN dari 10% menjadi 11%, dan kemudian pada 2024 tarifnya kembali dinaikkan menjadi 12% diberlakukan Januari 2025.
Kenaikan ini menambah beban ekonomi yang sudah cukup berat bagi sebagian besar rakyat Indonesia, terutama bagi mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Kendati demikian, untuk benar-benar memahami dampak dari kebijakan ini, kita perlu menyelam lebih dalam dan memeriksa faktor utama yang sering luput dari pembahasan, yaitu kemiskinan struktural.
Kemiskinan struktural bukanlah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor individu seperti malas atau tidak bekerja keras.
Sebaliknya, kemiskinan struktural adalah kemiskinan sistemik yang terjadi karena ketidakadilan dalam distribusi kekayaan, kesempatan, dan akses terhadap sumber daya penting seperti pendidikan, kesehatan, serta lapangan kerja yang layak.
Oleh karena itu, menimbulkan tantangan terbesar kita saat ini, dimana kenaikan PPN 12% hanya memperburuk situasi yang sudah pelik seperti sekarang ini.
Sebuah Kenyataan yang Terabaikan
Kemiskinan struktural adalah akibat dari kebijakan ekonomi yang tidak memperhatikan kesenjangan sosial dan ekonomi.
Ini adalah produk dari sistem yang memungkinkan sebagian kecil orang atau kelompok menguasai sebagian besar kekayaan, dan sementara sebagian besar lainnya terjebak dalam lingkaran kemiskinan.