Menyiksa atau Memanjakan Diri?
Salah satu argumen utama yang diajukan oleh para pendukung kebebasan digital adalah bahwa handphone adalah alat yang mempermudah hidup.
Bukan hanya untuk komunikasi, tetapi juga untuk pekerjaan, hiburan, hingga informasi. Bayangkan saja, seberapa sering kita mengecek email, memeriksa jadwal, atau bahkan mendengarkan podcast sambil bekerja?
Kita bisa mengatakan bahwa handphone adalah alat multifungsi yang memungkinkan kita untuk menjadi lebih produktif, lebih cerdas, dan lebih terhubung dengan dunia. Namun, kenyataannya sedikit berbeda.
Hal ini diungkapkan dalam penelitian terbaru yang dilakukan oleh University of California, Berkeley (2024), menunjukkan bahwa penggunaan handphone yang berlebihan justru berhubungan dengan penurunan kualitas hubungan sosial dan kesejahteraan psikologis.
Alih-alih mempermudah komunikasi, handphone malah menciptakan apa yang disebut sebagai social media paradox, dimana kita merasa semakin terhubung, namun saat yang sama justru semakin terisolasi.
Aktivitas seperti berselancar di media sosial, memeriksa notifikasi, dan menonton video pendek bisa mengisi waktu kita, tetapi juga menghilangkan kehadiran kita dalam interaksi yang lebih bermakna.
Penelitian ini juga menunjukkan adanya peningkatan kecemasan dan depresi, terutama di kalangan remaja dan dewasa muda yang menghabiskan lebih dari 3 jam sehari di media sosial.
Bagaimana tidak? Mereka terpapar pada gambar-gambar yang terpolarisasi dan narasi yang sering kali tidak menggambarkan kenyataan. Alih-alih merasa lebih bahagia atau lebih terhubung, mereka justru semakin merasa tertinggal dan cemas.
Kecanduan atau Kebiasaan?
Tidak bisa dipungkiri, kita hidup di dunia yang dipenuhi teknologi, dan handphone menjadi simbol utama dari kemajuan itu.