Apabila Anda mengira makanan khas Palopo hanya sebatas makanan yang bisa Anda temui di warung makan pinggir jalan atau restoran dengan harga yang lumayan menguras dompet, maka bersiaplah untuk dikenalkan dengan sesuatu yang jauh lebih tradisional. Dan bisa jadi agak membingungkan, namanya kapurung.
Kapurung mungkin terdengar asing di telinga banyak orang, kecuali Anda kebetulan pernah berkunjung ke Palopo atau memiliki teman dari Sulawesi Selatan yang dengan bangga mengklaim makanan ini sebagai hidangan sejati dari tanah kelahirannya.
Kapurung, kendati terdengar seperti nama sebuah tempat wisata eksklusif atau semacam festival musik alternatif, sebenarnya adalah makanan khas yang menggugah selera. Tetapi bagi beberapa orang yang belum terbiasa, cukup menantang untuk mencobanya.
Di sini, kita akan menjelajahi perjalanan kuliner ke Palopo. Tempat dimana Anda akan menemukan kenikmatan dalam kesederhanaan, dan mungkin juga sedikit kebingungan saat pertama kali mencicipinya.
Apa itu Kapurung?
Sebelum kita lebih jauh membahasnya, penulis akan menjelaskan bahwa kapurung adalah sebuah hidangan yang cukup sederhana, namun punya kedalaman rasa dan filosofi yang tak bisa dianggap remeh.
Hidangan ini merupakan semacam sup atau kuah yang terbuat dari campuran sayur-sayuran, daging, ikan, dan yang paling unik adalah bahannya dari sagu. Tentu saja, dari tepung sagu yang biasa digunakan untuk membuat pempek atau sebagai bahan baku sagu lempung. Tapi jangan khawatir, Anda tidak akan diminta untuk membuat adonan pempek atau menjadi koki sagu profesional.
Proses pembuatan kapurung dimulai dengan memasak sagu yang telah dilarutkan menjadi cairan kental, kemudian dicampurkan dengan sayuran, ikan, dan sedikit bumbu rempah yang akan membuat hidangan ini terasa segar dan menggugah selera.
Kombinasi antara gurihnya ikan atau daging ditambah dengan keasaman dari sambal dan keunikan sagu yang kenyal, menciptakan rasa yang tak biasa.
Untuk orang yang pertama kali mencicipinya, kapurung mungkin akan terasa seperti permainan rasa yang memaksa lidah untuk beradaptasi, namun bagi orang Palopo (dan banyak orang Sulawesi Selatan) ini adalah makanan yang tak bisa tergantikan.