Budaya indonenglish atau englonesian kerap dikhawatirkan akan menjadi cangkul yang siap mengubur orisinalitas budaya pribumi. Bagaimana tidak, trend ini telah merasuki standar culture anak muda dan menjadi suatu kebanggaan yang dianggap keren. Penulis memulai esai dengan pengantar yang menceritakan pengalaman dialognya bersama seorang sastrawan, yaitu pada suasana obrolan bersama Saut Situmorang.Â
Beliau mengungkapkan keresahannya tentang budaya indonenglish yang nyaris eksis disemua bentuk kebudayaan sehari-hari masyarakat indonesia, baik dari perilaku outfit maupun perilaku berbahasa yang berhasil menjadi trend. Awalnya, trend indonenglish ini hanya terbatas sebagai subkultur di wilayah perkotaan, khususnya di jaksel. Namun, dengan semakin kuatnya arus globalisasi dan teknologi menyebabkan semakin mudahnya akses media sosial dan menjelajahinya.
 Penulis menganalisis fenomena-fenomena ini sebagai produk dari "captive mind" sebagaimana yang telah disebut oleh Syed Hussein Alatas dalam buku Mitos Pribumi Malas. Fenomena ini terjadi karena cara berpikir masyarakat Indonesia yang merasa bahwa bangsa mereka sebagai bangsa inferior akibat kolonialisme yang selalu menjadikan masyarakat pribumi selalu dibawah, akhirnya melahirkan perasaan inferior mereka sebagai negara bekas jajahan.Â
Ternyata fenomana ini juga terjadi dibeberapa negara bekas jajahan lainnya seperti malaysia yang kian kehilangan bahasa nasionalnya. Secara garis besar, ancaman ini diakibatkan mental inferioritas terhadap orang barat, sehingga menganggap semua kultur orang barat sebagai standar dalam kehidupan sosial dan berbudaya. Pola pikir seperti ini, dikhawatirkan akan terus mengikis bahasa ibu secara perlahan, yang akhirnya akan lenyap, dan inilah yang dikhawatirkan oleh kemdikbud.
 Dalam esai ini, ada isitilah atau konsep baru yang saya dapat, yakni captive mind. Yang mana, jika dilihat secara secara kontekstual, ini memang relevan untuk menganalisis fenomena indonenglish, tapi kurang tepat untuk menganalisis lebih lanjut, melihat persoalan sosial budaya masyarakat Indonesia yang begitu kompleks.Â
Namun, pengaruh lain dari globalisasi tidak hanya terbatas pada persoalan bahasa saja, melainkan bagaimana cara berpakaian mereka juga nyaris dipuja-puja. Contoh lainnya adalah sebagian besar anak muda akan lebih bangga, nyaman dan merasa keren apabila makan burger dibandingkan makan singkong dan pisang goreng.
 Esai ini sangat memperhatikan fenomena sosial budaya pada masyarakat yang jarang disinggung dan disadari oleh kebanyakan orang. Bahwa fungsi bahasa nasional tidak terbatas sebagai alat komunikasi saja, tapi jauh dari itu adalah sebagai bentuk apresiasi dan kebanggaan akan indentitas nasional. Namun penulis mencoba menjelaskan fenomena indonenglish, yang semakin kesini ternyata semakin menghilangkan kosakata atau istilah pada bahasa kita.Â
Sebagian orang melihat ini sebagai bentuk pemajuan kebudayaan atau modernisasi dan sebagian lainnya menganggap sebagai suatu ancaman yang akan mengubur bahasa-bahasa kita secara perlahan dan tanpa kita sadari. Jika kubu pertama menganggap itu sebagai bentuk pemajuan kebudayaan, artinya mereka dapat beradaptasi dengan baik terhadap arus globalisasi, maka kubu kedua selalu resah dan penuh kehati-hatian terhadap tawaran-tawaran trend barat. Melihat cara dua kubu merespon fenomena indonenglish, saya memiliki cara pandang sendiri.Â
Saya terpikirkan akan sebuah kaidah fiqih yang pernah guru saya sampaikan ketika saya mengenyam pendidikan di pesantren, yaitu "al-muhafadhah ala qadim as-sholih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah", yang berarti memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik. Kaidah ini memiliki konsep yang begitu masif dan kritis, yaitu bagaimana cara kita mempertimbangkan dari dua sesuatu/pilihan secara selektif, yang kemudian bertujuan untuk keseimbangan atau stabilitas.Â
Dapat diartikan, dalam upaya menghadapi tantangan globalisasi diperlukan untuk menyeimbangkan bahasa asing dan pelestarian bahasa ibu. Dengan kesadaran kolektif dan strategi efektif kita berupaya untuk tidak hanya mempertahankan bahasan Indonesia saja, tapi juga mengembangkannya ditengah-tengah arus globalisasi.
*ditulis untuk mereview esai "Sensasi Indonenglish Vs Pemajuan Kebudayaan" karya Bernando J Sujibto Dosen program studi sosiologi UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.