Pada salah satu harian di Yogyakarta, seorang narasumber dari kantor Telekomunikasi setempat mengungkapkan informasi sensitif tentang adanya pungutan tidak resmi oleh Asosiasi Warung Telepon di wilayah tersebut, dengan nominal berkisar antara Rp5 juta hingga Rp25 juta. Informasi ini secara eksplisit dinyatakan sebagai "off the record," yang berarti tidak untuk dipublikasikan. Namun, wartawan dari media tersebut tetap menyiarkan informasi tersebut dalam pemberitaan mereka, melanggar kesepakatan yang telah dibuat.
Dampaknya sangat signifikan. Narasumber merasa dikhianati oleh wartawan yang awalnya ia percayai. Hal ini semakin diperburuk oleh tuntutan hukum yang dilayangkan terhadap narasumber dengan tuduhan pencemaran nama baik. Setelah melalui proses hukum yang berliku, Mahkamah Agung menjatuhkan hukuman penjara selama dua bulan kepada narasumber tersebut. Kekecewaan mendalam akibat putusan ini mendorong narasumber untuk mencoba bunuh diri dengan mengiris nadinya, meskipun upaya tersebut berhasil digagalkan, insiden ini mencerminkan dampak psikologis yang berat akibat pelanggaran etika jurnalistik ini.
Tindakan wartawan yang menyebarluaskan informasi yang dinyatakan "off the record" mencerminkan pelanggaran serius terhadap Pasal 3 Kode Etik Jurnalistik. Pasal ini mengamanatkan bahwa wartawan wajib menghormati ketentuan "off the record," latar belakang, dan embargo yang telah disepakati dengan narasumber. Pelanggaran ini tidak hanya menciderai prinsip dasar integritas jurnalistik, tetapi juga mengakibatkan kerusakan parah pada relasi kepercayaan yang mendasari interaksi antara wartawan dan narasumber.
Dalam proses hukum, hakim Pengadilan Negeri menyatakan bahwa hanya pejabat tertentu yang berhak memberikan informasi “off the record.” Pandangan ini menunjukkan kurangnya pemahaman mengenai prinsip jurnalistik. Dalam konteks jurnalistik, “off the record” adalah kesepakatan yang tidak bergantung pada jabatan seseorang, melainkan pada konsensus antara wartawan dan narasumber. Pendapat tersebut mencerminkan kesenjangan antara perspektif hukum dan etika jurnalistik.
Kasus ini memberikan dampak serius pada reputasi media, antara lain ialah Hilangnya Kepercayaan yang mambuat narasumber dan masyarakat menjadi ragu untuk berbagi informasi dengan media, mengingat risiko pelanggaran privasi.
Selain itu, Krisis Integritas juga membuat media yang melanggar kode etik kehilangan legitimasi sebagai sumber informasi yang dapat dipercaya. Terlebih lagi, Dampak Hukum yang membuat wartawan dan media dapat terlibat dalam proses hukum, yang merugikan reputasi dan keuangan perusahaan media.
Kasus pelanggaran "off the record" di Yogyakarta berfungsi sebagai pengingat penting bahwa media online saat ini menghadapi pilihan krusial, yaitu mempertahankan integritas etika atau tergoda oleh keuntungan instan melalui sensasionalisme. Pilihan untuk mengorbankan etika tidak hanya melemahkan kepercayaan publik tetapi juga mengancam keberlanjutan profesi jurnalistik sebagai institusi yang dipercaya masyarakat.
Mematuhi kode etik jurnalistik bukan sekadar kewajiban moral, tetapi merupakan landasan bagi kredibilitas dan kepercayaan yang dibangun antara media dan audiensnya. Dalam posisi sebagai pilar keempat demokrasi, media memiliki tanggung jawab yang tidak dapat ditawar untuk menjunjung tinggi kebenaran, keadilan, dan integritas dalam setiap pemberitaan. Oleh karena itu, hanya melalui komitmen tegas terhadap nilai-nilai ini, media dapat tetap relevan dan dihormati di tengah arus informasi yang semakin deras dan kompetitif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H