Mohon tunggu...
Muhammad Rafid009
Muhammad Rafid009 Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Diri saya hanyala seorang mahasiwa yang apabila stress akan menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tradisi Pacu Jawi di Masyarakat Minangkabau

16 Oktober 2024   22:43 Diperbarui: 16 Oktober 2024   22:57 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Tradisi Pacu Jawi di Masyarakat Minangkabau

Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar didunia sehingga memiliki banyak keragaman suku maupun budaya yang dimiliki Indonesia, salah satu keragaman suku dan budaya yang dimiliki Indonesia tersebut terletak di Provinsi Sumatera Barat atau Tanah Minangkabau.  Disetiap daerah di Sumatera Barat memiliki keunikan masing-masing dan sering kali dijadikan sebagai destinasi wisata seperti pada Kabupaten Tanah Datar.

Terdapat Istana Pagaruyuang, Nagari Pariangan, tradisi Pacu Jawi. Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Datar Nomor Tahun 2008, Kabupaten Tanah Datar menerapkan sistem nagari. Nagari merupakan pembagian wilayah admistratif setelah kecamatan yang memiliki kesatuan masyarakat hukum adat dengan batas-batas wilayah tertentu, berwenang mengatur dan mengurus ketentuan masyarakat setempat berdasarkan filosofi “adat basandi sara’, Sara’ basandi kitabullah” (adat didasari agama, agama didasari oleh al-Qur’an). Pacu Jawi tersebut diselenggarakan secara bergiliran pada 4 kecamatan, yaitu Kecamatan Sungai Tarab, Pariangan, Lima Kaum, dan Rambatan. Biasanya dilaksanakan setiap hari Sabtu selama 4 kali berturut turut

Tradisi ini merupakan bagian dari budaya Minangkabau dan telah menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat setempat selama berabad-abad. Dalam Pacu Jawi, lembu dipasangkan dengan seorang pebalap yang kemudian menariknya dengan kecepatan tinggi melalui sawah yang tergenang air lumpur. Asal-usul Pacu Jawi dapat ditelusuri ke masa lalu agraris masyarakat Minangkabau, di mana sawah dan ladang merupakan bagian penting dari kehidupan sehari-hari.

Kegiatan Pacu Jawi diyakini awalnya sebagai sarana hiburan sekaligus sebagai ajang untuk memperlihatkan kekuatan dan keahlian pembalap dalam mengendalikan lembu. Meskipun asal-usulnya tidak jelas, tradisi ini telah menjadi warisan budaya yang terpelihara dengan baik di tengah-tengah masyarakat Minangkabau. Pacu Jawi juga memiliki nilai-nilai budaya yang dalam. Tradisi ini tidak hanya sekadar ajang balapan, tetapi juga mencerminkan kebersamaan, kerjasama, dan solidaritas antara masyarakat setempat. Dalam setiap even Pacu Jawi, seluruh komunitas turut serta, baik sebagai penonton maupun sebagai bagian dari tim yang membantu menyiapkan dan mengelola acara tersebut. Saat ini, Pacu Jawi telah menjadi daya tarik pariwisata yang signifikan bagi Sumatera Barat. Setiap tahunnya, ribuan wisatawan baik dari dalam maupun luar negeri datang untuk menyaksikan dan ikut serta dalam tradisi yang unik ini. Pemerintah setempat juga telah aktif dalam mempromosikan Pacu Jawi sebagai bagian dari warisan budaya Indonesia yang perlu dilestarikan dan dikembangkan.

Keunikan pacu jawi terletak pada proses perlombaan, dimana balapan pada umumnya dimenangkan oleh peserta tercepat sedangkan pada pacu jawi dilakukan secara bergiliran dan tidak ada juri sehingga terselenggara harmonis. Lokasi pelaksanaan pacu jawi terbilang unik karena dilakukan di atas sawah. Dalam satu kali perlombaan pacu jawi mencapai 500 sampai 800 ekor jawi.  Acara berlangsung dimulai dari jam sepuluh pagi sampai pukul 5 sore. Pada waktu perlobaan berlangsung terkadang terdapat transaksi perdagangan sapi. Umumnya, Jawi yang memenangkan perlombaan akan dinaikkan harganya sampai dua kali lipat. Teknis penilaian berdasarkan filosofi dan nilai-nilai yang baik.

Kriteria Jawi pemenang lomba yaitu yang berjalan lurus tidak miring dan tidak melenceng ke mana-mana, Jawi dapat menuntun temannya berjalan lurus. Hal tersebut mengindikasikan Jawi tersebut sehat. Filosofi dari hal tersebut yaitu Jawi saja dapat berjalan lurus (jalan yang benar) dan seharusnya manusia yang dianugrahi akal pikiran dapat memilih pada kebenaran. Acara Pacu Jawi ditutup dengan dihadiri tokoh-tokoh pemerintah dan tokoh-tokoh adat. Tokoh pemerintah menjadikan ajang sosialisasi program yang sedang berjalan, sementara tokoh adat atau disebut niniak mamak menunjukkan kemampuan berdialog dalam menggunakan petatah petitih yang dialunkan sambil berdendang dengan kata-kata yang penuh makna.

Meskipun Pacu Jawi telah ada selama berabad-abad, tradisi ini tetap menjadi daya tarik yang kuat bagi penduduk setempat maupun wisatawan. Setiap pertandingan Pacu Jawi tidak hanya menyajikan aksi yang mengagumkan, tetapi juga memperkaya pengalaman budaya para penonton dengan melibatkan mereka dalam perayaan yang meriah. Dengan keunikan dan keindahannya, Pacu Jawi terus menjadi simbol kebanggaan bagi masyarakat Minangkabau dan warisan budaya yang tak ternilai bagi Indonesia. Tradisi ini menunjukkan betapa pentingnya melestarikan dan menghargai warisan budaya yang telah diwariskan dari generasi ke generasi, menjadikannya sebagai bagian tak terpisahkan dari identitas dan kebanggaan suatu bangsa.

Dalam konteks budaya modern, Pacu Jawi juga menghadapi tantangan. Perubahan gaya hidup, urbanisasi, dan modernisasi telah mempengaruhi keberlangsungan tradisi ini. Masyarakat modern cenderung memiliki prioritas yang berbeda dalam menghabiskan waktu luang mereka. Aktivitas tradisional seperti Pacu Jawi mungkin dianggap kurang relevan atau menarik bagi generasi muda yang lebih terpapar oleh tren dan hiburan modern seperti media sosial dan permainan video.

Hal ini dapat mengakibatkan penurunan minat dan partisipasi dalam acara Pacu Jawi. Juga, proses urbanisasi yang cepat mengubah lanskap sosial dan fisik di daerah-daerah tradisional di Indonesia, termasuk Sumatera Barat. Migrasi penduduk dari desa ke kota-kota besar menyebabkan berkurangnya jumlah orang yang terlibat dalam pertanian dan kegiatan tradisional seperti Pacu Jawi. Kehilangan pebalap dan peternak lembu yang berpengalaman dapat mengancam kelangsungan acara ini. Selain itu, perubahan teknologi dan infrastruktur juga mempengaruhi Pacu Jawi. Meskipun teknologi dapat digunakan untuk mempromosikan acara ini, seperti melalui media sosial atau situs web, namun juga dapat mengalihkan perhatian dari tradisi-tradisi lokal karena ketersediaan hiburan digital yang lebih mudah diakses.

Dengan keunikan dan keindahannya, Pacu Jawi terus menjadi simbol kebanggaan bagi masyarakat Minangkabau dan warisan budaya yang tak ternilai bagi Indonesia. Tradisi ini menunjukkan betapa pentingnya melestarikan dan menghargai warisan budaya yang telah diwariskan dari generasi ke generasi, menjadikannya sebagai bagian tak terpisahkan dari identitas dan kebanggaan suatu bangsa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun