Alam dan bumi beserta segala isinya adalah karunia Tuhan yang memang sengaja diberikan kepada manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Manusia diciptakan sebagai khalifah di muka bumi ini berarti ia mempunyai implikasi sosial di mana mereka hidup saling bergantung antara satu dengan yang lainnya. Tidak hanya itu, guna memenuhi segala kebutuhan hidupnya manusia juga bergantung pada alam sekitarnya, sehingga timbulah sikap ekologis antara keduanya. Namun oleh karena alam mempunyai keterbatasan persediaan, sementara kebutuhan dan keinginan manusia semakin tidak terkontrol, maka dengan akalnya manusia mampu mengolah alam sehingga menjadi sebuah aktivitas industri dan bisnis (ekonomi). Melalui aktivitas tersebut, pola ketergantungan manusia akan lingkungannya berubah menjadi eksploitasi alam berlebih sehingga menimbulkan banyak persoalan, termasuk bencana-bencana yang dirasakan akhir-akhir ini.
Maka dari itu, perlu adanya kajian yang membahas tentang hubungan moral antara manusia dengan lingkungannya atau yang biasa disebut etika lingkungan. Hal ini berarti etika lingkungan menyoroti pelbagai nilai, norma, prinsip kewajiban dan tanggungjawab moral yang mengarahkan dan menuntun manusia dalam hubungannya dengan alam dan lingkungannya. Etika lingkungan ini secara praktis dirasa perlu menjadi sebuah kajian tersendiri setelah munculnya berbagai masalah dan keprihatinan pada lingkungan hidup, yang harus di atasi dengan cara merubah perilaku dan yang pada gilirannya menuntut dilakukannya refleksi dan penyadaran etis.
Etika dalam masalah lingkungan hidup memberikan sumbangan antara lain. Pertama,pandangan-pandangan atau keyakinan-keyakinan yang etis dan relevan, misalnya paham dan visi dasar mengenai hubungan manusia dengan alam, atau lebih khusus lingkungan hidupnya. Kedua,prinsip-prinsip etis, baik yang mendasar dan umum, maupun yang sudah relevan dengan masalah lingkungan hidup. Ketiga,perlunya sikap batin yang baik dalam pribadi manusia yang bertanggungjawab dalam hati nuraninya. Keempat,norma-norma etis yang tepat, kehendak baik saja tidak cukup, orang masih berbeda pendapat mengenai isinya, yang tidak boleh subyektif.
Selama ini kita mengenal sistem ekonomi syariah cenderung lebih menekankan hubungan antara manusia sesama manusia yang lain dan hubungan manusia dengan Tuhannya saja, sementara sikap terhadap lingkungan dalam kajian fatwa-fatwa belum menjadi persoalan serius. Maka, prinsip-prinsip yang melarang tindakan riba, gharar,dan maysiryang muncul sebagai teori dan sistemnya pun sama sekali tidak membahas persoalan bagaimana ekonomi syariah dapat berperan penting terhadap persoalan lingkungan hidup atau malah justru ikut andil dalam merusak sistem lingkungan layaknya sistem ekonomi kapitalis yang menganut paham antroposentris.
Menurut penulis sistem ekonomi syariah saat ini berjalan melalui mekanisme perbankan dan pasar modal cenderung mengabaikan faktor-faktor lingkungan yang menjadi masalah serius akhir-akhir ini di negara kita. Jika diteliisik lebih dalam bagaimana fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional yang menjadi dasar penggerak ekonomi syariah di Indonesia tidak ada satupun aturan operasional yang mengindikasikan persoalan aktivitas bisnis tidak boleh mengabaikan faktor-faktor lingkungan hidup.
Seperti fatwa terkait pasar modal syariah yang hanya membahas berkaitan dengan produk dan jenis kegiatan usaha saja yang tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah, sebagaimana yang tertera dalam fatwa DSN-MUI nomor 40/DSN-MUI/X/2003 yang dimaksud bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah itu hanya meliputi perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang, lembaga keuangan konvensional (ribawi), termasuk perbankan dan asuransi konvensional, produsen, distributor, serta pedagang makanan dan minuman yang haram dan produsen, distributor, dan/atau penyedia barang-barang ataupun jasa yang merusak moral dan bersifat mudarat, melakukan investasi pada emiten (perusahaan) yang pada saat transaksi tingkat (nisbah) hutang perusahaan kepada lembaga keuangan ribawi lebih dominan dari modalnya.
Melihat fatwa tersebut, saya kira sah-sah saja dalam Daftar Efek Syariah kita akan menjumpai perusahaan-perusahaan atau emiten-emiten yang dinilai mengeksploitasi alam yang berlebihan, seperti kasus-kasus emiten yang bergerak di bidang pertambangan di pelbagai daerah di Indonesia masuk sebagai emiten yang boleh melakukan transaksi di pasar modal syariah. Tidak hanya di bidang pertambangan saja, kasus pembakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan dan kontorversi lahan di pegunungan Kendeng Jawa Tengah oleh perusahaan-perusahaan yang tidak bertanggungjawabpun kalau jenis usaha dan produknya tidak melanggar prinsip syariah sesuai dengan fatwanya, maka mereka dengan leluasa dengan sah dan halal bertransaksi dengan para pemodal-pemodal yang menginginkan hartanya (modal) ditempatkan secara benar.
Maka dari sini, saya kira perlu adanya reformasi dalam fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional untuk membuat aturan yang lebih ketat dan mementingkan maqasid syariah(tujuan diberlakukannya hukum)mengenai aktivitas-aktivitas bisnis yang merusak moral dan lingkungan hidup. Kalaupun perilaku riba didefinisikan sebagaipenambahan biaya dalam hutang yang dilakukan secara dzolim, bukankah tindakan berlebihan atau mengeksploitasi secara dzolim kepada alam pun sama halnyadengan perilaku riba (ekologis).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H